Warisan Pemikiran
Sebuah Refleksi dari Catatan Perjalanan Mudik
Perjalanan pulang kampung Cianjur-Sumedang adalah perjalanan cukup panjang. Sepanjang perjalanan itu pula cukup beragam pemandangan yang tersajikan ke pelupuk mata.
Selain antrean kemacetan yang mengular, pemandangan lain juga hadir di hadapan kami. Pemandangan yang cukup membuat perasaan miris. Kami sengaja melewati jalur perkotaan. Untuk sekadar istirahat sejenak dan mengajak anak-anak bermain, kami juga menghindari jalur mudik yang rawan titik kemacetan.
Pemandangan tersebut adalah, taman-taman yang tampak tidak lagi terurus. Tanaman dalam pot sudah tinggal tanahnya, paving block sudah berlubang, lampu-lampu dipreteli, sampah berserakan, penyapu halaman hanya dua orang bahkan tidak terlihat di sebagian besar taman-taman tersebut. Petugas yang biasa menjaga kelestarian taman tidak lagi kelihatan, sehingga PKL yang tidak tertib kembali hadir.
Perasaan miris bertambah ketika seorang teman memberikan kabar di sebuah grup sosial media. Bencana banjir menerjang kawasan perkotaan di Cianjur sore itu. Peristiwa tersebut terjadi seiring dengan guyuran hujan yang deras selama beberapa jam.
Informasi yang diperoleh dari warga menyebutkan, bencana banjir di jalanan tengah kota ini terjadi sekitar pukul 17.00 WIB. Banjir ini diduga terjadi karena tidak berfungsinya saluran air atau drainase akibat tumpukan sampah.
Titik yang sempat digenangi banjir antara lain Jalan Mangunsarkoro, Jalan HOS Cokroaminoto, dan Jalan Dr. Muwardi. Dampaknya, arus kendaraan melambat akibat genangan banjir.
Banjir adalah bencana yang disebabkan oleh kesalahan tangan-tangan manusia. Kehadirannya bisa dicegah. Selain mengedukasi masyarakat agar tidak membuang sampah ke saluran air, teknologi yang sudah sedemikian canggih dewasa ini bisa memberikan informasi ramalan cuaca. Menurut BMKG, prediksi curah hujan bisa sampai tiga hari ke depan.
Selain masyarakat yang belum teredukasi, banjir juga bisa terjadi karena kesalahan regulasi. Tanah-tanah beralih fungsi. Sawah menjadi pabrik, ruko atau komplek perumahan. Alam di bagian hulu dikapitalisasi menjadi wahana bermain air dan outbond, hingga pembangunan secara horizontal ini semakin mengurangi kemampuan tanah meresap air.
Ditambah, drainase yang kurang diperhitungkan. Sungai-sungai dipepatkan, di bantarannya pun didirikan bangunan. Belum lagi pembangunannya yang kurang memperhitungkan dan mengawasi amdal. Tata kota yang selama ini dirancang hanya melihat estetika tanpa memperhatikan selaras tidaknya dengan ekologi.
Edukasi terhadap masyarakat tampaknya kurang diperhatikan dalam program pemerintahan. Baik di tataran pusat, maupun daerah. Di sisi lain, untuk mengedukasi warga terhadap sampah, Jepang membutuhkan waktu 15 tahun hingga warganya mau bekerja sama. Mengurangi produksi sampah, dan memilah-milah sampah mulai dari tataran rumah.
Sampah yang sudah terpilah tersebut kemudian diolah sesuai jenisnya. Ada yang menjadi pupuk, ada yang didaur ulang, ada pula yang bisa diubah menjadi energi dan dialirkan ke industri atau rumah-rumah sekitar.
Kini, Jepang dikenal sebagai negara yang maju dalam industri, tapi bisa menjaga lingkungannya agar tetap lestari. Bila solusi terhadap penanganan sampah ini difasilitasi, tentu warga pun tidak akan membuang sampah ke sungai, membakarnya atau menguburnya begitu saja tanpa terlebih dahulu dipilah-pilah.
Edukasi untuk membangun pemikiran ini yang kini luput dari kampanye-kampanye. Padahal pemikiran, bagi umat manapun, sesungguhnya merupakan sebuah kekayaan yang luar biasa agung yang mereka miliki dalam kehidupan mereka jika mereka termasuk umat yang baru lahir. Pemikiran bahkan merupakan peninggalan umat yang sangat berharga, yang akan diwarisi oleh generasi penerus mereka jika mereka termasuk umat yang memiliki identitas dalam bentuk pemikiran mereka yang cemerlang.
Adapun kekayaaan material atau fisik, berbagai penemuan ilmiah, beragam rekayasa industri dan hal-hal lainnya masih jauh kedudukannya dibandingkan dengan pemikiran. Bahkan pencapaian semua kekayaan material tersebut bergantung pada pemikiran dan pelestariannya pun bergantung pada pemikiran.
Karena itu, jika kekayaan material sebuah bangsa hancur maka dengan cepat mereka akan mampu memulihkannya kembali selama mereka mampu memelihara kekayaan pemikiran mereka.
Sebaliknya, jika kekayaan pemikiran sebuah bangsa telah diabaikan, meski mereka mampu melestarikan kekayaan material mereka, maka kekayaan itu akan segera lenyap dan mereka akan kembali menjadi terpuruk.
Kebanyakan penemuan ilmiah yang telah ditemukan oleh sebuah bangsa mungkin saja akan terulang kembali ketika penemuan-penemuan itu hilang asalkan bangsa tersebut tidak kehilangan metode berpikir mereka. Sebaliknya, jika metode berikir mereka yang produktif tersebut telah lenyap, maka pasti mereka akan segera mundur kembali ke belakang. Berbagai penemuan dan hasil rekayasa industri yang mereka miliki itu juga akan segera musnah.
Karena itulah, yang pertama kali harus dilestarikan adalah pemikiran. Dengan dasar pemikiran beserta metode berpikirnya yang produktif itulah mereka akan mampu meraih kekayaan material serta akan terus berupaya untuk mencapai berbagai penemuan ilmiah, perekayasaan industri dan lain-lain.[1]
Untuk membentuk bangunan pemikiran ini tentu membutuhkan waktu yang lebih lama dari membentuk bangunan fisik. Jika untuk pengolahan sampah saja Jepang membutuhkan waktu 15 tahun, untuk membangun pemikiran dalam seluruh aspek kehidupan pasti lebih lama lagi.
Konsep demokrasi yang membagi kekuasaan dan membatasi masa jabatan, menghalangi terbangunnya pemikiran. Masa jabatan dibatasi hanya lima tahun. Para pengamat politik pemerintahan menilai masa kerja efektif hanya tiga tahun. Ini yang membuat konsentrasi mengurusi umat terpecah. Membuat penguasa merancang program yang tergesa-gesa. Ingin lekas ada bukti agar kepercayaan umat bisa segera terbeli. Akhirnya program pembangunan infrastruktur dan tata kotalah yang diterapkan disana-sini.
Di sinilah letak keunggulan konsep Khilafah. Kedaulatan di tangan Allah SWT semata. Masa jabatan dibatasi oleh taat atau abainya seorang pemimpin terhadap hukum syara’. Pemimpin tidak disibukkan dengan kampanye, tidak dikejar-kejar masa jabatan. Umat pun bisa menurunkan kapan saja pemimpinnya bila telah terbukti melakukan kemaksiatan yang nyata.
Keunggulan lainnya adalah sumber pemikiran yang dibangun itu diambil dari Alquran dan Assunnah. Maka pantas bila umat pada masa kekhilafahan memiliki pemikiran yang cemerlang, sehingga perjalanan penerapannya dicatat dalam sejarah yang gemilang. [] Milda Nurjanah
[1] An-Nabhani, Taqiyyuddin. Sistem Ekonomi Islam: Bab Pengantar Sistem Ekonomi. Al-Azhar Press; Bogor. Cet. I, 2009
0 Comments