Tamara yang Mulanya Enggan Saum
Anak-anak kita adalah ciptaan Allah SWT. Dia bekali mereka dengan beragam potensi untuk menjalani kehidupan. Salah satunya adalah Dia bekali anak-anak kita dengan potensi untuk menemukan kebenaran. Bekal inilah yang menjadikan setiap anak memiliki dasar-dasar kesalehan. Setiap anak pada dasarnya memiliki kecenderungan pada ketaatan.
Bekal inilah yang harus selalu ditingkatkan, dilatih sesuai dengan perkembangan naluri, akal dan fisik mereka.
Mengaji di malam hari, bangun di akhir sepertiga malam, sahur dan saum adalah aktivitas sederhana tapi berat untuk melaksanakannya. Perlu penanaman persepsi yang terus-menerus hingga mereka merasa ringan dalam mengamalkannya.
Tamara, salah seorang siswi kami mengeluh tidak mau saum. Dia enggan sahur. Dia mengeluh khawatir tergoda bila ada yang makan di hadapannya. Dia mengeluhkan saudara sebayanya yang selalu membawa banyak jajanan setiap kali main ke rumahnya.
“Kalau khawatir tergoda karena melihat ada orang yang makan, mau pergi ke mana pun pasti akan ketemu. Kitanya yang harus kuat. Kuatkan niat saumnya. Biar badan juga kuat sahurnya harus cukup dan bergizi. In sya Allah nanti Allah kuatkan. Tidak akan mudah tergoda. Justru yang tidak saumlah yang seharusnya tergoda pada kita; iri karena kita mendapat pahala. Mereka nanti iri pada kita yang dapat pahala berupa rumah di surga; berkilauan karena banyaknya amal saleh yang kita lakukan. Mau nggak punya rumah di surga seperti yang dijanjikan pada Bunda Khadijah? Indah seperti yang diceritakan semalam sebelum tidur?”
Sedikit demi sedikit Tamara pun menyuapkan nasi ke mulutnya. Anak-anak yang semula malas sahurpun demikian.
Seolah agar tidak terpikir makan, mereka isi hari ini dengan rupa-rupa kegiatan. Bermain mobil remote, memanah, bulu tangkis hingga qailulah (tidur sebentar pada siang hari sebelum zhuhur, red.).
Bagi anak yang telah terbiasa mengerjakan suatu amal, saat tidak melaksanakannya akan menjadi sesalan tersendiri. Demikian yang dirasakan Haidar. Meski saum sunnah ditujukan untuk kakaknya, bi’ah (lingkungan) positif itu bisa ditularkan. Begitu kami sowan ke rumah neneknya, dia mengaku sendiri telah lupa dan tidak sengaja makan makanan yang tengah disiapkan untuk berbuka. Terlihat mimik merasa bersalah dan malu pada wajahnya.
“Tidak apa-apa kalau lupa,” saya mencoba menenangkannya.
Menanamkan kesalehan dan membersamai anak-anak dalam membiasakan beramal saleh itu terasa nikmat. Baik untuk anak sendiri maupun anak yang diamanahkan untuk kita didik. [] Milda Nurjanah, saat mabit di QuraniKids Elementary School 8 Maret 2018
0 Comments