Slave
Sadar diri sebagai hamba.
Begitulah muara dari pendidikan orangtua bahkan negara kepada anak-anaknya. Hamba dari Penguasa Alam Semesta, Allah SWT. Tujuan yang dipahami betul oleh para sahabat sehingga tidak sedikit dari mereka menamai anaknya dengan Abdullah. Penghambaan yang bisa mewujud menjadi sebuah pelayanan, penghormatan, kecintaan hingga pengorbanan kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW.
Kesadaran penuh ketika mendidik anak ini terinternalisasi dengan baik kepada anak-anak tersebut. Sebutlah Abdullah bin Abbas, keponakan Rasulullah SAW. Begitu kuat keinginannya untuk menyerupakan ibadahnya dengan ibadah Rasulullah SAW.
Suatu ketika, benaknya dipenuhi rasa ingin tahu yang besar tentang bagaimana cara Rasulullah salat. Malam itu, dia sengaja menginap di rumah bibinya, Maimunah binti al-Harits, istri Rasulullah.
Sepanjang malam dia berjaga, sampai terdengar olehnya Rasulullah bangun untuk menunaikan salat. Dia segera mengambil air untuk bekal wudu Rasulullah.
Di tengah malam buta itu, betapa terkejutnya Rasulullah menemukan Abdullah bin Abbas masih terjaga dan menyediakan air wudu untuknya.
Rasa bangga dan kagum menyatu dalam dada Rasulullah. Beliau menghampiri Ibnu Abbas, dan dengan lembut dielusnya kepala bocah belia itu. “Ya Allah, berikan dia keahlian dalam agama-Mu, dan ajarilah dia tafsir kitab-Mu,” demikian doa Rasulullah untuknya.
Abdullah bin Zubair. Meski dia baru lahir pada tahun pertama hijrahnya Rasul ke Madinah, kedua orangtuanya senantiasa menanamkan rasa cinta kepada Rasulullah.
Nabi, setelah selesai dibekam, berkata, “Wahai Abdullah (Ibn Zubair)! Pergilah kamu dengan membawa darah ini dan buanglah ia di tempat yang tidak seorang pun dapat melihat kamu.“
Setelah meninggalkan Rasulullah SAW, dia mengambil darah itu, lalu meminumnya. Saat kembali Rasulullah SAW bertanya, “Apakah yang telah kamu lakukan dengan darah itu?“
Dia menjawab, “Aku telah menempatkannya di tempat yang sangat tersembunyi, yang aku tahu ia sangat tersembunyi daripada orang ramai.“
Rasulullah berkata, “Apakah engkau telah meminumnya?“
Dia menjawab, “Ya.”
Rasulullah yang telah mengetahui apa yang dilakukan oleh Ibnu Zubair hanya tersenyum, lalu berkata, “Orang yang di dalamnya mengalir darahku, maka dia tidak akan disentuh api neraka.“
Setelah kejadian itu Ibnu Zubair memiliki banyak kelebihan. Ulama ahli hadits berkata, “Mereka (para sahabat) berpendapat bahwa kekuatan yang terdapat pada Abdullah Ibn Zubair itu disebabkan oleh keberkatan darah tersebut.“
Selayaknya para pemuda yang memiliki energi dan semangat membara, menjadi kewajaran apabila pemuda juga memiliki segudang harapan dan cita-cita setinggi langit. Suatu hari Abdullah bin Umar berkumpul bersama kawan-kawan sebayanya. Masing-masing dari mereka mengutarakan cita-cita masa depan. Ada yang bercita-cita sebagai pemimpin di suatu daerah. Ada yang bercita-cita menikah dengan fulanah. Namun Abdullah bin Umar memiliki cita-cita yang lebih jauh untuk masa depannya. Dia hanya bercita-cita mendapat ampunan Allah SWT.
Para pemuda tersebut serius dengan cita-citanya. Mereka melayakkan diri, kemudian meraih apa yang mereka inginkan. Demikian juga Ibnu Umar. Dia serius ingin mendapatkan ampunan Allah SWT. Maka dia kerap menolak berbagai jabatan.
Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Ibnu Umar untuk menjabat sebagai hakim, tetapi dia tidak mau menerimanya. Setelah Utsman terbunuh, sebagian kaum muslim pernah berupaya membaiatnya menjadi khalifah, tetapi dia juga menolaknya.
Dia tidak ikut campur dalam pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Dia cenderung menjauhi dunia politik, karena tidak ingin memperkeruh suasana dan membuat perpecahan.
Demikian juga kita, orangtua pada zaman sekarang. Selayaknya kembali berkontemplasi, apa sebetulnya tujuan ia mendidik anak hingga rela berlelah-lelah?
Apabila kepayahan mendidik anak tersebut masih menyisakan kekaburan akan arah pendidikan mereka, selayaknya kita berlelah-lelah dulu mencari jawaban apa tujuan hidup kita di dunia ini.
Jelasnya tujuan hidup orangtua akan memperjelas tujuan dalam mendidik anak.
Sudah waktunya orangtua kembali memelajari, merenungi dan meluruskan amalnya. Masihkah ia melangkah di jalan menuju tujuan yang telah ditetapkan Penciptanya?
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (TQS Adz-Dzariyat [51]: 56)
Begitulah. [] Milda Nurjanah
0 Comments