Perseverance
Pembelajaran yang dilakukan di usia TK itu baru stimulus saja.
Tahfizh, salat, bersedekah, adab, dan yang lain-lainnya baru sebatas stimulus saja.
Ibarat akan membuat sebuah bangunan, itu hanya baru sekadar membuat pondasi. Baru terlihat struktur dasar. Bahwa petak sebelah sini untuk kamar, petak itu untuk ruang tamu, bagian sana akan dibikin WC, bagian ini akan dijadikan dapur, dsb.
Tahapan itu belum bisa memberikan manfaat apa-apa. Bahkan untuk meneduhkan pun belum bisa. Jika hujan turun, kita akan tetap basah. Dan jika panas, kita akan tetap merasakan teriknya sinar matahari.
Demikian juga pendidikan pada anak usia dini. Tahfizh, salat, dan amal saleh lainnya hanya baru sebatas membuat pola.
Jika tidak dilanjutkan pembiasaannya, maka pola-pola pembiasaan itu bisa lekang termakan oleh zaman, dan roboh terhantam lingkungan.
Zaman ini, zaman demikian jauhnya manusia dari tuntunan Alquran. Kengerian selalu mengintai. Pedofilia, pendangkalan akidah, penyesatan pikiran, dan budaya semacam pergaulan bebas seolah menjadi arus yang sengaja dideraskan oleh kalangan tertentu demi menggemukkan pundi-pundi kekayaan.
Sasarannya adalah generasi Muslim, meski serangan tersebut berbalik kepada mereka sendiri.
Negara sebagai perisai tidak lagi berfungsi. Para pendidik dan orangtua yang sejatinya menjadi benteng terakhir, biasanya malah terbawa arus.
Meski segelintir, masih ada para pendidik yang bersikap tulus. Masih ada orangtua yang pendiriannya kokoh.
Mereka berjalan sendiri menghalau segala polusi peradaban yang bisa merusak.
Mereka berusaha tetap tajam menatap demi memelihara harapan.
Masih ada cahaya harapan yang mereka lihat pada masa depan.
Ibarat menanam padi, gulma bisa tetap tumbuh.
Menanam tanpa pengawasan serta pemeliharaan berarti membiarkan gulma melalap padi dengan bebas. Akibatnya, padi tidak akan bisa tumbuh, apalagi berisi.
Cita-cita apapun yang diharapkan orangtua terhadap anak, hanya akan tercapai ketika diikuti dengan keseriusan dan konsistensi orangtua.
Tentu ini bukan tanpa cobaan.
Awalnya semangat.
Begitu sudah di pertengahan jalan mulai terasa goyah.
Lalu pada akhirnya, bukan tidak mungkin malah kompromi dengan godaan.
Mungkin, gelombang godaan ini tidak akan terlalu menghempaskan idealisme jika mengambil langkah-langkah yang tepat.
Pada mulanya, mengenalkan dengan menyenangkan. Kemudian mencarikan guru yang tepat hingga membangun lingkungan yang kondusif. Begitu nasihat para pejuang cita-cita.
Bagi orangtua yang bercita-cita anaknya menjadi saleh/shaliha, penjaga Alquran, bahkan menjadi ulama dan juga seorang ksatria, perlu juga memiliki ketahanan setebal dan sekuat baja.
Mengutip Ario Muhammad, orangtua perlu terus memelihara jiwa, membangun ketertarikan yang penuh motivasi, komitmen, hingga ketahanan dalam latihan keras bertahun-tahun lamanya.
Sebab, kesuksesan sejati hanya akan lahir dari sebuah kerja keras yang panjang dan melewati serangkaian proses yang tak mudah.
Bisa jadi, orangtua pun menemani sepanjang proses itu. Karena dia enggan menanggung perihnya derita bodoh dan tersesat.
Seperti yang dituturkan oleh Imam Syafi’i, bahwa jika kita tidak bisa tahan dengan lelahnya belajar, maka kita harus menahan perihnya sebuah kebodohan.
Semoga Allah Ta’ala menolong dan melindungi kita. [] Milda Nurjanah
0 Comments