Pemuda
Oleh:
Milda Nurjanah
Kekhawatiran. Rasa yang acap kali ada ketika mendapati anak beranjak dewasa. Ditambah setiap hari disuguhi berita soal kenakalan yang kian tidak wajar. Seiring bertambah kuatnya tubuh, kaki dan tangan mereka, semakin berani menghardik orang tua. Memiliki anak lelaki khawatir mulai mencoba-coba rokok dan narkoba. Memiliki anak perempuan khawatir mudah terayu dan tipis rasa malu.
Padahal semestinya tidak begitu. Seharusnya, berbicara pendidikan anak di usia baligh harus mampu mewujudkan sesuatu yang luar biasa pada anak tersebut. Mengapa? Sebab begitu memasuki usia baligh, dia memasuki usia pemuda. Sedangkan pemuda dirumuskan oleh para ulama sebagai fase yang lebih dekat dengan fitrah. Asysyabaabu aqrabu ilal fithrah.
Siapa yang menghentakkan alam berpikir jahiliyah pada masa Raja Namrud? Nabi Ibrahim kala muda. Tentang ini bisa diketahui dari dialog yang diabadikan dalam surah al-Anbiya ayat 60 di dalam Alquran. Terdapat kata fata yang berarti seorang pemuda belia dalam ayat tersebut.
Kisah pemuda Ashabul Kahfi cukup menjadi bukti bahwa pemuda memang lebih dekat dengan fitrah. Fitrah manusia adalah tauhid. Akal akan meronta ketika ada yang menyerukan penyembahan kepada selain-Nya. Menyelamatkan akidahlah yang mendorong para pemuda tersebut berlari dari penguasa saat itu.
Masa muda juga kerap diidentikkan dengan cerita romansa. Sama sekali tidak lucu sebenarnya, ketika beredar berita beberapa anak perempuan menganiaya seorang anak lelaki karena dipicu cemburu. Padahal mereka masih berusia SD. Perbuatan menjalin asmara menjadi hal yang diwajarkan berdalih pada usia meledak-ledaknya naluri seksual (gharizatun nau). Orangtua lupa, bahwa yang namanya naluri itu bisa dialihkan. Bahkan, dunia parenting hanya berfokus pada pembahasan bagaimana menghadapi anak ketika dilanda asmara. Orangtua lupa, bahwa pada saat yang sama naluri berketuhanan (gharizah tadayyun) mereka pun tengah bertumbuh luar biasa. Seiring bertambahnya kekuatan jasadiyah, bertambah pula kekuatan ruhiyah!
Pemuda bisa tetap berada dalam ketaatan ketika tersuasanakan sedari kandungan. Terus dijaga hingga mengantarkan mereka pada usia dewasa. Nabi berwasiat kepada kita diawali dengan kata ightanim.
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara. Yakni masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, masa kayamu sebelum fakirmu, waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.”
Dari kata ightanim muncul kata ghanimah yang berarti harta rampasan perang. Dari sini bisa kita pahami bahwa di antara perkara berharga yang perlu dijaga adalah usia muda. Usia muda adalah harta mahal luar biasa layaknya harta rampasan perang yang diperoleh dengan penuh perjuangan.
Oleh karena itu, Dr. Khalid Ahmad al-Syantut dalam kitab yang berjudul Tarbiyatus Syabaabil Muslim lil Abbi wa Du’aat, melihat pemuda dari sudut pandang yang jernih dan istimewa. Pemuda itu miniatur umat. Pemuda adalah tokoh hari esok. Pemuda adalah perisai umat. Fase pemuda adalah fase menghimpun energi juga fase pertumbuhan. Sungguh merupakan fase yang mengagumkan. Sewajarnya, sosok yang harus muncul ketika anak baligh adalah alquwwah. Penuh kekuatan. Alhadaatsah, pembaharu. Penuh inovasi. Alfatwah, muda, menyegarkan, bergairah. Jamaal, keindahan. Tubuh sedang mencapai puncak idealnya. Pemuda itu identik dengan annama’. Pertumbuhan. Terus bertumbuh. Ia juga merupakan awwalu kulli syai’in, awal segala sesuatu. Pionir segala kebaikan bermula dari pemuda.
Menghadirkan profil dan karakter pemuda semacam itu memang tidak tiba-tiba. Dimulai dari membangun kesalehan orangtua. Distimulus sejak dalam kandungan. Diajak dalam berbagai ketaatan. Ia pun akan belajar terkait dengan kehidupan rumah tangga. Kehidupan keluarga yang penuh dengan ketaatan. Dengan demikian, bagi anak lelaki yang akan menjadi suami kelak, fungsi quw anfusakum wa ahlikum naara akan berjalan.
Benarlah Islam yang mengajarkan ketika pada usia 7 tahun anak mulai diperintahkan salat. Pada usia 10 tahun dipukul dengan pukulan yang tidak mencederai –sebelumnya orangtua perlu mempelajari fikih memukul anak. Dengan pendidikan berkesinambungan ini, anak akan mengetahui bahwa meninggalkan salat adalah salah. Maka dari itu, jangan melepaskan anak sebelum baligh pada pihak lain. Anak sebelum baligh semestinya berada dalam dekapan kedua orangtuanya. Jika orangtua terkaget menghadapi kenakalan anaknya pada usia jelang dewasa, berarti ada yang salah sejak awal mendidiknya, mendampinginya.
Pemuda yang ditempa oleh Islam adalah pemuda yang kuat jiwanya, kokoh pendiriannya. Pemuda yang mengalami badai puberitas adalah janggal. Hanya ditemui pada masa Islam dicampakkan sebagai aturan.
Allah, jagalah generasi kami. Tolonglah kami dengan hadirnya kembali Islam di muka bumi ini. Allaahumma aamiin. []
Referensi:
- Kajian Ust. Yuana Ryan Tresna pada Parade Parenting 2021 Quki School
- Remaja antara Hijaz dan Amerika, yang ditulis oleh Ust. Budi Ashari, Lc
0 Comments