Mushi Mushi Atsui
Hari ini belum memasuki bulan Juli apalagi Agustus, tapi suhu udara sudah sekitar 30-an derajat. Pemandangan di luar sudah dipenuhi dengan warna hijau dedaunan dan bunga aneka warna dan rupa yang bermekaran.
Siaran TV dipenuhi dengan kunjungan ke berbagai wisata alam. Sebelum menginformasikan cuaca esok hari, sang penyiar memperkenalkan tempat kunjungan atau mewartakan apapun yang sedang terjadi di luar sana.
Bunga yang sedang mekar, menjadi makanan dari tumbuhan yang hanya tumbuh di musim semi atau musim panas.
Bahkan tadi malam aku baru saja mengunjungi sebuah tempat di mana hotaru berkumpul, bersama Momo-san. Hotaru adalah sejenis serangga yang akan mengeluarkan cahaya hijau bila di kegelapan. Cantik. Bertebangan kemana-mana.
Aneh, aku sangat takjub bila melihat mawar dan bunga-bunga lain yang berada di pekarangan. Aku takjub bila setiap berangkat parttime[1] aku mencium bunga melati. Aku takjub bila melihat pohon apel yang mulai terlihat cikal bakal buahnya dan bunga yang entah apa namanya di pinggir sawah selepas lelah dari parttime sambil bersepeda.
Aku menyukainya meski panas di sini amat menyengat. Yang kurasakan, panas di sini berbeda dengan panas di Cianjur ataupun Bandung. Bila Bandung dan Cianjur panas, maka cukup dengan membuka jendela, maka kesejukan perlahan akan menyapa. Di sini, membuka jendela kamar pun sangat jarang semilir angin datang atau masuk. Inginnya menutup jendela saja dan menyalakan AC.
Benar ya, terkadang manusia harus merasa kehilangan sesuatu dulu untuk memahami arti sesuatu yang biasa ada di dekatnya. Pemandangan hijau ini, belut yang harganya hampir sama dengan daging sapi di sini, asparagus, jagung, melon, semangka yang kecil-kecil tapi luxurious di sini, bahkan hotaru atau kunang-kunang menjadi terasa begitu menakjubkan. Mungkin setelah enam bulan selalu diliputi dingin dan cepatnya gelap menghampiri, semua terasa tiada.
Padahal kawan, bukankah kita bisa merasakan semua itu hampir setiap saat dan di mana saja? Semua yang orang Jepang takjubi, bisa kita nikmati tiada henti?
Indonesia negeri khatulistiwa, selalu hangat, bukan panas. Banyak yang iri. Tidak pula kita dipusingkan dengan harus membeli peralatan musim dingin.
Bagi petani, ia bisa menanam benih dan panen sesuka hati. Tak perlu khawatir tertimbun salju.
Bagi nelayan, ia bisa menjaring limpahan cumi, ikan asin, ikan besar, ikan kecil, dan lain-lain.
Bagi bunga-bunga, ia bisa berseri sekehendak diri.
Bagi yang bergerak di jasa wisata, ia bisa menjaring wisatawan kapan saja. Tidak perlu menunggu musim panas untuk menikmati indahnya sunset atau sunrise.
Bagi penambang emas, minyak, batu bara dan gas, hampir setiap arah angin bisa ia gali.
Segala karunia itu, tentunya merupakan karunia yang Allah berikan bagi bumi yang dulu pernah menjadi bagian dari kekhilafahan Utsmani.
Negeri ini dikaruniai berbagai anugerah dari berbagai sisi tanpa dikejar waktu layaknya orang Jepang. Maksudku, misalnya kenapa nasi Jepang lebih enak dan mereka hanya sedikit sekali mengimpor beras padahal tidak sepanjang tahun mereka bisa menanam padi?
Mengapa negeri yang mata pencahariannya sama seperti Indonesia, yaitu pertanian, bisa lebih kaya?
Indonesia tidak harus sepanik Jepang yang lebih rentan saat terjadi gempa dan tsunami. Tidak perlu panik ada badai salju. Bisa beraktivitas lebih teratur karena lamanya siang dan malam hampir selalu sama. Tidak perlu dikejar gelap yang terkadang datang terlalu cepat.
Namun mengapa negeri ini justru yang lebih maju?
Mungkinkah karena terpaan alam yang membuat mereka memutar otak, menyingsingkan lengan baju dan mengangkat kaki agar tetap bisa survive?
Mungkinkah karena tidak dimanjakan alam hingga membuat mereka terbiasa berlelah-lelah dan pantang berleha-leha?
Jepang dikelilingi lautan dan pegunungan. Bukankah Indonesia juga demikian? Bahkan daratan di Indonesia lebih terhampar luas. Manusianyakah yang tak mampu menghargai karunia itu? Bukankah penduduk Indonesia adalah penduduk yang beragama. Tertulis jelas di kartu tanda penduduk-nya, dan setiap pengenal identitasnya yang lain. Atau otaknya tak beres? Jika benar dia orang yang beragama, takkan pernah ia percaya ada ketidakadilan penciptaan di dunia ini. Aku pun masih tak mengerti ke mana perginya dan dikemanakan para intelektual dan juara-juara pribuminya?
Apa yang terjadi di negeri Zamrud Khatulistiwa itu? Pemerintahnya? Aku yang baru pertama kali pergi ke luar negeri, juga dalam waktu yang tidak lama, bisa melihat ketimpangan yang mencolok. Ketidakberesan yang tidak semestinya.
Bukankah bapak-bapak dan ibu-ibu di pemerintahan itu bisa melihat lebih jelas dengan kekayaan pengalamannya? Bukankah mereka bisa lebih bertindak dengan kewenangannya, ketimbang aku yang hanya bisa menulis di sini?
Jujur aku sedih. Aku sedih karena melihat dan merasakan sendiri. Kau pasti lebih tahu dari aku, Kawan. Bahwa Indonesia adalah negeri yang juga pernah diperhitungkan dunia semasa para Wali Songo dipertuanagungkan? Negeri yang memiliki kehormatan dan harga diri.
Kau tahu juga sejak kapan Jepang mulai menjadi negeri yang kaya? Ya, setelah perang dunia. Kau tahu artinya apa? Setelah mereka datang ke Indonesia dan memaksakan diri menjadi tuan rumah.
Lucu, sekaligus sedih. Orang Jepang datang ke Indonesia menyiduk emas. Anak-anak pribuminya datang ke Jepang mengais receh, membanting tulang, bahkan sampai menelan pahit bentakan tanpa perlawanan. Kerja di Jepang benar-benar kerja, Kawan. Tidak ada jeda waktu untuk memanjangkan ataupun mengayunkan kaki. Miris. Dan tak hentinya pertanyaan ini berkeliling dalam pikiranku. Kapan dunia akan kembali memperhitungkan negeri ini? Apakah setelah adanya Wali Songo abad ini? Apakah ketika ajaran mereka kembali dipertuanagungkan dalam kehidupan sehari-hari?
Hai Kawan, mungkin fenomena ini tidak hanya antara Indonesia-Jepang saja, tapi juga dengan negara-negara yang saat ini dikatakan maju karena modernitasnya.
Aku ingin tahu bagaimana ekspresi wajahmu saat membaca ini.
Tawa?
Tangis?
Senyum?
Sinis?
(Milda Nurjanah, Nihon no manatsu no toki ni, 2009)
[1] Istilah untuk kerja paruh waktu di Jepang. Kebanyakan dilakukan oleh mereka yang masih sekolah.
0 Comments