Menghiasi Anak dengan Kesederhanaan
Oleh: Milda Nurjanah
Rupa-rupa peralatan dan perlengkapan bayi yang bergelantungan di dinding Baby Shop begitu menggiurkan setiap mata para ibu. Ingin membeli popok model terbaru, flanel motif baru, stroller terpraktis, alat bantu jalan, gendongan terkini dan macam-macam. Belum lagi dengan baju-baju anak dengan berbagai model dan motif.
Padahal semua barang tersebut belum tentu terpakai lama. Padahal barang-barang serupa masih ada sebagai warisan dari kakak jabang bayi. Yang paling penting, barang-barang tersebut belum tentu dibutuhkan anak.
Bayi yang baru lahir hanya membutuhkan kehangatan. Ia tidak mengerti konsep baru. Ia tidak mengerti warna pink untuk wanita atau warna biru untuk laki-laki. Yang penting baju itu masih berfungsi.
Maka bukanlah masalah bila baju bayi didapatkan secara turun temurun. Kalaupun perlu membeli, dikembalikan pada skala kebutuhan dan fungsi. Seperti perlu tambahan popok baru jika sudah banyak yang robek saking seringnya dicuci. Perlu tambahan popok jika musim hujan membuat bayi beser dan cucian susah kering.
***
Mengajarkan kesederhanaan dan skala prioritas kebutuhan kepada anak memang dimulai dari orangtua, dari sejak lahir.
Bila orangtua mudah silau, tergiur dan konsumtif, maka akan terdidik kepada anak. Ia akan meminta tas baru padahal tas yang sebelumnya masih bagus dan layak pakai. Ia akan meminta mainan dan hal-hal baru padahal belum tentu dibutuhkan. Bila tidak dipenuhi ia bisa merengek atau balik mengancam.
Kebiasaan semasa kecil, bisa terus terbawa hingga remaja dan dewasa. Bila semasa kecil rengekan mereka masih belum menjadi masalah karena selalu dipenuhi, maka kebiasaan konsumtif ini akan mulai terasa menjadi masalah saat mereka telah dewasa. Yang diminta tentu bukan lagi sekadar mainan. Yang diminta sudah berupa gadget terbaru, kendaraan atau perawatan kulit atau semacam itu yang belum tentu dibutuhkan dan menunjang perkembangan belajar pada fase usianya.
Lantas, apa yang harus dilakukan orangtua bila anak mulai merengek meminta sesuatu?
Mengajaknya berdialog.
Sebagai orangtua kita harus mengajaknya menimbang sejauh mana kepentingan barang yang diminta. Apakah bisa diganti dengan barang yang ada. Apakah benar-benar harus membeli? Tidak bisakah dengan meminjam atau menyewa atau cara lainnya selama diperbolehkan syariat? Apakah bisa ditunda hingga uang yang terkumpul cukup untuk membelinya?
Maka mengajarkan anak membedakan mana yang merupakan kebutuhan dan mana yang berupa keinginan sebetulnya tidak hanya mengajarkan kesederhanaan, melainkan juga kesabaran dan rasa bersyukur.
Kesederhanaan adalah perhiasan orang-orang beriman. Kesederhanaan akan meringankan penghisaban.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa, setelah pulang dari perjalanan jauh Nabi SAW dijamu oleh sahabat Aus bin Khaulah dengan madu dan susu. Akan tetapi Rasulullah tidak menerimanya dan berkata, “Aku tidak mengatakan bahwa ini adalah haram. Namun, aku tidak ingin kelak pada hari kiamat nanti Allah bertanya kepadaku tentang hidup berlebihan di dunia ini.” (HR Ahmad bin Hambal)
***
Tampaknya, salah satu permasalahan terkait utang piutang yang merajalela di negeri ini bermula dari sini: kurangnya mengajarkan skala prioritas dan kesederhanaan sedari usia dini.
Misal, kredit dalam membeli rumah. Bukan hal yang buruk ketika ada rasa ingin memiliki rumah. Namun dewasa ini, orang-orang pada umumnya lupa mengukur kemampuan diri. Berani mengambil perumahan secara kredit (terlebih yang sifatnya ribawi). Belum lagi perabotan rumah yang dibeli secara kredit juga. Kendaraan pun begitu: diangsur.
Padahal untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari pun sudah terengah-engah. Akhirnya terjadi kredit macet. Penjabalan pun terjadi dan berbuntut pada terkoyaknya ketenteraman rumah tangga, kriminalitas bahkan –na’udzubillah– pembunuhan dan atau bunuh diri.
Padahal tidaklah menjadi masalah bila kita mengontrak rumah. Padahal tidak menjadi masalah bila rumah tidak banyak isinya. Padahal tidak menjadi masalah bila masih beroda dua atau bahkan jalan kaki ke mana-mana. Padahal tidak menjadi masalah bila pakaian yang dikenakan itu-itu saja selama masih laik sesuai fungsinya; melindungi dari panas dan dingin serta menutup aurat.
Dari pertimbangan pemikiran itu pulalah saya dan suami mendidik anak. Membelikan atau memberikan barang hanya apabila dibutuhkan.
Bukan tidak pernah anak-anak merengek minta dibelikan sesuatu. Bila itu terjadi, bila ada keinginan yang mereka utarakan, maka kami mengajaknya berdialog menimbang sejauh mana kepentingan dan kebutuhan yang diinginkannya itu.
Seperti Haidar, putra kedua yang masih berusia 5,5 tahun, meminta dibelikan tas. Ia utarakan demikian karena kakaknya lebih dulu meminta dibelikan tas. Sulung memang perlu tas baru. Tas yang ia miliki sekarang tidak cukup menyimpan bukunya yang berukuran lebih besar. Bila dipaksakan masuk, tentu buku itu akan menjadi kusut. Sulung juga senang membawa Alquran di tasnya. Akhirnya karena beban tas terlalu berat, talinya pun putus. Sulung kini memakai tas adiknya yang diperoleh dari pemberian teman mereka semasa TK.
“Haidar pingin beli tas. Tas Haidar yang kecil dipakai Muqri’ (kakaknya, red.), sementara tas yang besar dipake Bunda,” ujarnya.
Saya memang lebih suka memakai tas gendong yang berukuran besar karena kapasitasnya lebih banyak dan digendong agar beban di badan lebih seimbang. Sebagai ibu dari tiga anak yang usianya masih kecil dan berdekatan, mengharuskan saya membawa segala kebutuhan mereka ketika akan pergi keluar meski tidak lama dan jauh. Tas desain ibu-ibu sekarang kurang cocok dengan kebutuhan ibu-ibu macam saya. Tas-tas sebelumnya yang saya miliki juga bernasib sama dengan yang dimiliki sulung. Talinya putus, bagian bawahnya jebol, dsb.
Sebelum putra kedua meminta, sebetulnya saya sudah berniat membeli tas yang cocok untuk saya dan mengembalikan tas yang menjadi haknya. Hanya, untuk mendapatkan tas yang cocok sesuai kebutuhan dan anggaran itu memerlukan waktu. Waktu bagi ibu tiga anak yang sedari membuka mata hingga menutup kembali mengurusi keperluan mereka inilah yang lebih mahal daripada harga tas itu sendiri.
“Haidar kalau beli tas memangnya mau diisi apa saja?” tanya saya.
Saya berpikir ia belum merasa perlu. Karena usianya baru TK dan lebih sering bermain daripada belajarnya. Maka sebagai pengganti tasnya yang saya pakai, ia hanya saya bekali sebuah jilid UMMI dan jas hujan dalam goody bag.
“Kalau nggak pake tas tuh bukunya suka hilang-hilang. Buku ngaji (catatan tahfizh) aja hilang,” jawabnya.
Bila ingin adu argumentasi, sebetulnya masih bisa. Catatan tahfizh-nya hilang bukan karena tidak memakai tas, namun lebih karena dirinya yang belum tertib dan kurang teliti. Tapi tidak saya lanjutkan.
Ia meminta tas karena memandangnya telah menjadi kebutuhannya. Anak-anak memang jarang meminta barang-barang baru. Bila yang ada masih bisa dipakai, pakai saja. Bila yang bekas pun masih bisa dipakai, pakai saja. Tidak perlu malu.
Seperti halnya Haidar yang tetap girang mempunyai sepatu bekas; sepatu temannya yang lama terpajang di sekolah. Daripada rusak oleh panas dan hujan, saya memohon izin pada ibunya anak pemilik sepatu tersebut. Saya cuci kemudian memakaikannya pada Haidar, dan ia tetap nampak senang. Alhamdulillah. []
0 Comments