Memori
“Ini sebagai tanda agar Ibu selalu ingat anak kami,” ujar seorang ibu kepada saya pada momen perpisahan sambil menyodorkan sebuah cinderamata yang dibungkus secara apik nan cantik.
Saya lihat bingkisan yang sama diterima juga oleh guru-guru yang lain.
Hanya sesungging senyuman, pada saat itu yang saya berikan sebagai jawaban.
Namun di dalam hati, jawabannya lebih panjang.
Tanpa ini pun saya tidak akan lupa. Gemuk gempal berlarian sambil kedua tangannya mengacung keriangan.

Pikiran ini menerawang pada ingatan setahun silam ketika dia yang bertubuh subur itu berbaris bersama teman-teman seusianya. Dia tampak paling mencolok di antara teman-temannya.
Dia sangat antusias untuk bermain. Gemuk tapi aktif. Tidak bisa diam lebih dari lima menit. Senggolannya terasa seperti dorongan. Tepukannya terasa bak pukulan.
Meski setiap hari saya harus mengisi penuh perut ini untuk menyiapkan energi, saya suka melihat binar mata sapa cerianya di setiap pagi.
Tidak. Tidak akan lupa. Dia yang saking tidak ingin berhenti bermain hingga tidak bisa menahan kencing. Tak ada celana dari teman seusianya yang pas untuk dijadikan pengganti celananya yang kebasahan urine. Sehingga hanya celana suamilah yang bisa dijadikan sebagai pengganti celananya.
Seorang guru tidak akan lupa akan memori bersama muridnya. Meski belasan tahun datang kembali lalu menyebutkan nama untuk mengingatkan, dengan tubuh yang meninggi, paras tampan, dada bidang, suara menjantan, memori guru tetap pada kenangan gemuk gempal yang berlarian.
Justru terkadang sebaliknya.
Apakah dia masih ingat bagaimana hari-hari kami diisi dengan saling berkejaran?
Masihkah dia ingat bagaimana kuatnya lengan dan kaki dipegangi hanya agar bisa terdiam untuk sekadar mendengarkan surat dibacakan hingga tuntas?
Tahukah dia bahwa seorang guru harus istirahat seminggu karena shock menghadapi keaktifannya?
Ingatkah dia bagaimana suara saya parau karena meredam keriuhan yang diciptakannya?
Pikiran ini kemudian melompat pada guru-guru TK di masa lalu. Betapa keikhlasan mereka lebih terjaga. Ketika sosmed masih tiada, paras mereka tidak lagi jelas dalam memori. Perlu upaya keras untuk mengingati.
Temu alumni SMA dan kuliah, sering terdengar. Mengunjungi kampus atau sekolah masa putih abu untuk sekadar napak tilas, banyak yang melakukan. Menanyakan kabar, berbagi cerita dengan guru favorit semasa SMA, sering didapati. Namun aktivitas-aktivitas tadi, saya sendiri, hampir tidak pernah melakukannya kepada guru-guru semasa TK.
Apakah guru TK mudah dilupakan?
Ah, terlalu negative thinking, rasanya. Bukan begitu. Melainkan Allah menjaga keikhlasannya.
Di atas semua itu, paras guru boleh saja terlupa, tetapi petuahnya tetap harus dijaga.
Cukup mendengar kabar bahwa anak didiknya bertumbuh menjadi dewasa, menjadi insan seutuhnya, sudah mendatangkan bahagia.
Jangan pernah berbuat maksiat, melabrak syariat. Sebab bukan hanya orangtua, ketika berita ini sampai ke telinga guru, hatinya juga tersayat.
Salam takzim untuk guru-guru semua. Sejak TK hingga guru kehidupan saat ini.
Hanya Allah Ta’ala yang bisa mengganti segala lelah dengan balasan yang layak nan berlipat. [] Milda Nurjanah
0 Comments