Masa Muda: Lebih Baik Berlelah-lelah atau Berleha-leha?
Oleh:
Milda Nurjanah
Tidak sedikit yang mengkritik cara belajar anak yang dijejali hafalan. Dinilai membebani anak. Merenggut masa bermainnya. Membosankan. Menurunkan minat belajar. Dan seterusnya.
Lantas, hari ini kita dapati anak di jenjang pendidikan sekian belum hafal rukun-rukun dalam agamanya sendiri. Tidak hafal perkalian. Gagap menjawab pengetahuan dasar. Mirisnya di usia yang seharusnya sudah bisa memecahkan masalah, masih belum bisa membaca. Tak mampu mencerna, di tengah limpahan informasi yang hadir ke tangannya sendiri melalui gawai yang sering dimainkan tiap hari.
Metode mengajar dengan ceramah dicibiri. Didoronglah anak-anak mencari sendiri materi agar lebih mandiri. Tanpa dibekali informasi awal. Tanpa diletakkan terlebih dahulu pondasi berpikir.
Pada hari ini, kita dapati berita dusta lebih cepat menyebar. Menimbulkan sesat pikir, keresahan dan kegaduhan. Tidak tahu bagaimana mengolah berita. Menyikapi dengan bijak peristiwa yang terjadi di hadapan mereka.
Kekeliruan sikap generasi muda diawali karena generasi tua ‘dilarang’ mewariskan cara-cara kunonya dalam belajar.
Padahal tidak akan ada keberhasilan tanpa ada latihan keras. Tidak akan muncul inovasi maupun kreativitas tanpa diawali mengamati dan meniru. Tidak akan bisa menganalisa hingga memecahkan masalah tanpa dibekali ilmu yang diajarkan terlebih dahulu.
Ulama menasihati: Hafalan adalah setengah dari pemahaman.
Nasihat ulama rupanya sejalan dengan teori pedagogi. Taxonomy bloom. Semakin didukung juga oleh temuan-temuan ilmu neurologi. Usia anak memang usia otak dalam memahat memori. Sehingga menghafal sejatinya bukan beban bagi mereka.
Bahkan nasihat orang Shalih biasanya dibimbing petunjuk Allah SWT Rabbul Izzati.
Teori-teori berpikir yang menuntun manusia belajar telah menembus dimensi inderawi. Ilmu pengetahuan memang diajarkan. Diceramahkan. Talaqqi.
Ilmu pengetahuan bisa diperoleh dengan pengamatan inderawi. Bisa juga dengan jalan rasional. Atau dari penuturan orang yang dapat dipercaya.
Dalam belajar ada tahapannya. Semodern apapun kehidupan. Dalam belajar perlu dibimbing guru. Secanggih apapun teknologi. Sehingga menghafal, dan ceramah/talaqqi adalah metode baku dalam belajar sebab ia merupakan proses yang tidak bisa dipisahkan.
Adapun materi apa saja yang perlu dihafal ditentukan oleh arah pandang belajar sedari awal. Belajar untuk apa? Jika diniatkan untuk meraih keuntungan materi, hafalan itu hanya akan terpahat di otak tetapi kosong dari makna. Inilah yang membuat anak banyak merasa bosan.
Akan tetapi, jika belajar dimaksudkan untuk meraih Ridha Dzat yang menciptakan dirinya dan alam semesta, maka ia akan menghafal diiringi rasa ketundukan. Lelah yang menghampiri, cukup dihilangkan dengan istirahat sejenak. Bosan yang menghinggapi, ditepis dengan tekad yang telah tertanam dalam benak.
Usia anak memang usia berlelah-lelah belajar. Jika tidak, maka modal waktu dan tenaga mereka akan terkuras pada berleha-leha.
Hari ini tempat hiburan lebih dipadati. Aplikasi game lebih sering disinggahi. Berjoged-joged di sosial media lebih diminati.
Bukankah kita semua ini akan meninggalkan dunia? Bukankah mereka yang muda pun akan menua? Bukankah lebih baik melelahkan raga anak-anak kita dalam belajar daripada mereka nanti berpedih karena kurang ilmu, iman dan skill kehidupan?
Adapun sekeras apa mendisiplinkan anak, sampai batas apa mendidik mereka yang sesuai usianya, di situlah gunanya pengembangan cara-cara mendidik. Pada saat itulah, orang dewasa juga perlu belajar agar kebaikan yang diajarkan tidak salah diterima serta dipahami anak.[]
Jazakumullah khayr para asatidz Quki, beserta kurikulum dan program yang ssuai prinsipnya, sekolah calon utama dan pemimpin.. hanya Allah sebaik2 pemberi balasan, semoga menjadi pahala jariyah terbaik, pemberat amal kebaikan..