Limit
Sebab tahu durasi waktu yang kumiliki di Jepang hanya empat musim, aku tidak ingin melewatkan sehari pun waktu untuk mereguk ilmu dari sumber aslinya. Masih lekat dalam ingatan meski tumpukan salju di jalanan setinggi betis, sepeda tak mampu dikayuh, aku papah dan tetap berangkat ke sekolah.
Sebab tahu jatah visa-ku hanya satu tahun, aku gunakan kesempatan hari libur untuk menjajaki setiap sudut negeri sakura. Menjelajah sejauh yang kubisa. Ingin kusaksikan sendiri kebesaran Yang Kuasa di tanah yang berbeda. Ingin kuselami apa gerangan yang membuat penghuni negeri ini makmur sentosa. Mengapa mereka lebih memiliki tenggang rasa. Apa tujuan yang hendak mereka capai hingga memiliki semangat membara. Tak tergoyahkan bak baja. Hingga akhirnya, hingga kini mereka masih yang terbaik di Asia. Padahal, Tuhan pun mereka tak percayai. Yang selalu mereka yakini bahwa segala keadaan adalah pilihan manusia.
Sebab tahu keberadaanku di negeri Matahari Terbit hanya sementara, tak silau mengoleksi teknologi terkini. Bila butuh baru membeli. Tidak mau aku diperbudak dengan alat-alat yang per 3 bulan berinovasi. Apalagi setelah aku tahu bila rusak di negeri sendiri suatu hari nanti akan sulit diperbaiki. Semua terkait lisensi.
Sebab tahu kaki yang kuinjakkan di negeri Ojigi tak selamanya, tentu tak hanya menawarkan suka siapapun di manapun akan mengalami duka dan derita, aku berusaha bertahan. Fokus pada tujuan. Semua yang ada di tangan akan ditinggalkan. Fashion, kecanggihan teknologi informasi, barang-barang yang unik dan cantik sekuat tenaga tak mampu membuatku teralihkan. Semua yang kumiliki sebatas yang kubutuhkan.
Di saat yang lain membeli sepeda elegan dengan harga wah, aku mencari yang termurah. Toh tidak akan kubawa hingga ke rumah. Dan benar saja di kala pulang sepedaku itu kuwariskan pada teman Cina-ku.
Di saat yang lain membeli iPhone 5 untuk berkomunikasi, aku cukup membeli handphone biasa untuk memeriksa email, sms dan telepon. Asal lancar berkomunikasi dengan keluarga di kampung halaman, teman sesama perantauan, guru di sekolahan dan kenalan. Kini HP itu hanya menjadi barang kenangan, dicari cara agar tetap terpakai, belum ditemukan jalan.
Di saat yang lain mengoleksi sepatu dan mantel termodis karena musim dingin yang menusuk hingga ke tulang, aku cukup membeli mantel dan rompi dari sebuah toko barang bekas, Ecotown. Bila dibawa pulang tentu tak kan sering terpakai. Suhu terdingin di negeri tropis tidak ada yang hingga minus 20 derajat celcius. Benar saja, rompi aku wariskan pada kawan Indonesia yang masih lama jatah visa-nya, mantel kuberikan pada sahabat yang tinggal di Lembang, ia tinggal di daerah dingin namun alergi dingin.
Di saat yang lain berlibur ke Osaka Universal Studio, aku memilih mengunjungi kuil, istana, benteng, jembatan, musium, perpustakaan, taman, kampus, kota tua. Selera yang kolot dan kuno. Namun aku merasa di sini bisa kudapatkan jawaban. Mengenal jati diri Jepang.
Sebab kutahu bahwa aku akan pulang, segala cobaan aku hadapi. Kerinduan nan kesenduan ku usir pergi. Justru di negeri saat kumerasa sendiri, aku hanya menggantungkan hati pada Ilahi. “Allah, tidak akan pernah menelantarkan hamba-Nya.” Begitulah yang selalu terpatri.
Sejatinya, begitulah seharusnya aku menapaki setiap episode hidup ini.
Ada limit waktu hingga tak sekejap pun terlewat tanpa kumanfaatkan. Itulah ajal yang akan memutus segala angan dan pengharapan.
Semua yang ada akan ditinggalkan, hingga tak melenakan. Tak patut dunia membuatku silau apalagi tersibukkan.
Fokus pada tujuan, hingga tak mudah teralihkan. Mardhotillah dan hadirnya kembali seagung-agung peradaban.
Segala kepedihan akan terlewatkan hingga tak membuatku terlarutkan.
Setiap orang dalam hidupku akan datang dan pergi.
Hanya Ilahi yang benar-benar selalu menemani.
Kepada-Nya lah aku kembali.
Wal aakhirotu khoirun wa abqaa…
Refleksi empat koma lima tahun kepulangan dari negeri yang dirindukan. Memupuk kembali keyakinan yang sempat terkubur sebab rutinitas mekanis sebagai istri, pendidik dan pengemban dakwah.
_________________________
Milda Nurjanah, penghujung Februari 2015
0 Comments