Let It Flows
Seperti halnya orang dewasa, pada saat hatinya gundah, dipenuhi kecemasan, ketakutan tak beralasan, dia terkadang cukup didengarkan saja. Atau, cukup hadir untuk menemaninya menumpahkan air mata.
Tahfizh Camp #3 di kawasan perkebunan teh Sarongge kemarin, menyisakan sebuah fragmen mendalam bagi saya. Lama ingin menuangkannya ke dalam sebuah tulisan.
Sebutlah Kirana dan Amira. Keduanya selalu bersemangat mengikuti rangkaian kegiatan. Jurit malam pun tidak membuat mereka diliputi rasa takut. Pagi jelang outbond, ceria masih menghiasi wajah kakak beradik ini. Masing-masing anak memiliki kesempatan mencoba satu kali wahana flying fox dan satu kali wahana sepeda gantung.
Tiba giliran Amira, sang adik. Helm dan sabuk pengaman sudah rapi dikenakan. Hanya tinggal selangkah melompat. Tiba-tiba dia mengurungkan diri. Kami tawarkan untuk berbarengan bersama Kirana, kakaknya. Ia mengangguk. Dipasangkanlah peralatan dan sabuk yang bisa menopang dua orang sekaligus.
Kembali, ketika kaki tinggal selangkah diayun, Amira mengurungkan diri. Setelah dibujuk, ditanya apa yang membuatnya tertahan, dia bergeming. Menyandarkan kepala pada pundak kakaknya. Sang kakak di satu sisi tahu bahwa dia harus menjaga adiknya. Di sisi lain, dia pun tidak ingin ketinggalan kegiatan. Kirana mendesak Amira untuk mengutarakan apa maunya hingga membentak. Tangis Amira pun kian meledak.
Saya meraih Amira. Dia pun mendekap. Membenamkan kepalanya dalam pelukan. Terisak, meraung. Saya tidak berkata apa-apa. Hanya mengelus kepala dan punggungnya. Setelah raungan tangisnya mereda, saya tawarkan air minum. Dia minum. Barulah saya ajak dia bicara.
“Amira, coba lihat dengan saksama. Sekalipun tampak menakutkan karena ketinggiannya, Amira didampingi oleh Bapak Ahli (pemandu, ed.). Bapak membantu memasangkan alat-alat pengaman. Semua sudah dirancang agar aman. Setelah semua upaya dilakukan, percayakan, berdoa dan harmonikan jiwa raga dengan alam.”
Dia tidak menjawab apa-apa.
“Atau Amira mau mencoba sepeda gantung dulu? Amira bisa main sepeda kan?”
Dia mengangguk.
Saya biarkan dia mengantre. Menunggu sesaat sambil menenangkan diri. Saya katakan lagi kepadanya, “Ini tidak apa-apa. Percayalah!” sambil meyakinkannya dengan seulas senyum.
Antrean anak-anak mencoba flying fox sudah tidak ada. Semula saya tidak berniat mencoba karena sudah pernah. Namun, urungnya Amira membuat saya berubah pikiran.
Mendorong orang melakukan suatu perbuatan terkadang tidak perlu dengan banyak perkataan. Cukup dengan teladan. Saya minta bantuan pemandu untuk memasangkan alat pengaman. Berdiri, membaca basmallah dan let it flows.
Bertawakallah.
Harmonikan diri dengan alam.
Rasakan angin menerpa pipi.
Rasakan tarikan gravitasi.
Setelah turun dari menara landas flying fox, saya menghampiri Amira. Dia pasti melihat. “Amira tadi lihat Ibu? Tidak terjadi apa-apa, kan?”
Binar di matanya seolah berkata iya, sedang hatinya pun melega.
Dia kembali melihat ke arah menara pacu flying fox. Tak lama kemudian dia berbisik kepada kakaknya. Kirana kemudian menyampaikan ulang kepada saya. “Bu, Amira mau mencoba flying fox katanya.”
“Oh, ok!”
***
Saya teringat pada kisah pasca Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah SAW mengutarakan kekecewaannya atas sikap sebagian sahabat. Ummu Salamah paham betul keadaan saat itu. Maka beliau menyarankan agar Rasul tidak perlu banyak berbicara. Berikan saja keteladanan. Teladan yang pertama mengamalkan kebaikan. Bila segala upaya telah dilakukan, bila doa telah dikencangkan, maka let it flows.
Percayakan kepada Allah SWT.
Pelajaran yang bagi orang dewasa saja perlu waktu seumur hidupnya untuk terus belajar mengamalkannya. [] Milda Nurjanah
0 Comments