Kecil-Kecil Jadi Ulama
Ini adalah kisah Imam Asy-Syafi’i.
Bernama asli Muhammad bin Idris. Lahir di Gaza, Palestina. Teman-teman tahu Gaza kan? Iya, yang kini sering diserang oleh Yahudi Israel, laknatullah ‘alaihi. Sudah yatim sejak kecil. Agar tetap dalam penjagaan keluarga, Ibunda As-Syafi’I membawanya ke Mekkah. Di sana banyak keluarganya. Selain itu, Mekkah juga terdapat banyak majelis ilmu.
Kegemarannya belajar dan memanah. Saking asyiknya memanah, kerap kali tidak memedulikan terik matahari. Sampai-sampai dokter pada masa itu menegurnya. Jika sering-sering di bawah terik matahari langsung nanti terkena penyakit berbahaya.
Kecerdasannya telah tampak sejak kecil. Syafi’I kecil telah menghafal Alqur’an sejak berumur 7 tahun. Kalau sekarang, mungkin kelas 1 atau 2 SD. Pada usia 10 tahun, kira-kira kelas 4 atau 5 SD, beliau sudah menghafal kitab Almuwatha’ Imam Malik. Luar biasa ya?
Hebatnya lagi, kecerdasan yang beliau dapatkan bukan dengan jalan kemudahan. Beliau diuji dengan kemiskinan. Beliau bukan lahir dari seorang ibu kaya sehingga bisa belajar di sekolah-sekolah favorit. Jadi, untuk teman-teman yang diuji keterbatasan materi, tidak perlu berkecil hati. Bagi yang sedang belajar di tempat yang memadai, Alhamdulillah …
Keterbatasan tidak membuatnya patah semangat. Beliau menggunakan beragam cara agar bisa tetap belajar. Pernah beliau ceritakan ketika ingin belajar kepada seorang guru tetapi tidak memiliki biaya. Beliau menawarkan menjaga anak-anak guru ketika sedang tidak ada. Tidak jarang juga membantu apa saja untuk guru tersebut.
Untuk menghimpun ilmu, ia rela mengais sisa-sisa kertas yang masih bisa ditulisi. Jika tidak mendapati kertas, ia mengumpulkan tulang belulang, tembikar, pelepah kurma dan lainnya. Setelah penuh dengan tulisan, disimpan ke dalam gentong. Saking banyanknya ilmu yang ditulis, gentong-gentong tersebut telah menyesaki rumah. Sang ibu meminta agar membereskan gentong-gentong tersebut dan menyingkirkan isinya. Meski berat, Syafi’I kecil menaati perintah ibunya.
Syafi’I menyalakan api untuk membakar isi gentong. Sebelum dibakar, ia hafalkan terlebih dahulu catatan yang ada. Satu per satu hingga semua terbakar dan seluruh ilmu telah tersimpan dalam benaknya. Allahu Akbar!
Keberhasilan Imam Syafi’i di bidang ilmu tentu diraih dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Petualangan panjang dalam menghimpun warisan Nabi yang terserak. Beliau ke pedalaman Mekkah untuk belajar Bahasa Arab murni selama 17 tahun. Pada usia belasan tahun berpamitan pada Ibunda untuk berguru kepada Imam Malik di Madinah. Perjalanan yang membutuhkan waktu delapan hari delapan malam. Selama perjalanan, ia isi dengan membaca Alqur’an hingga khatam 16 kali. Maa syaa Allah! Kecintaannya terhadap ilmu memang melebihi anak-anak sekarang yang menyukai film kartun. Kegemarannya membaca Alqur’an melebihi kesukaan anak-anak sekarang menghafal lagu-lagu.
Dengan kegigihannya, pada usia 15 tahun beliau telah menjadi mufti. Tempat bertanya kaum Muslim dalam urusan agama. Karya-karyanya dikaji, dijelaskan ulang dalam buku serta diamalkan oleh jutaan orang hingga sekarang. Terbayang bagaimana derasnya pahala yang mengalir padanya? Ingin meniru seperti Imam Syafi’i? Ingat-ingat pesan beliau berikut.
لَنْ تَنَالُ العِلْمَ إِلَّا بِسِتَّة: ذَكاء وَحِرْصٍ واجْتِهادٍ ودِرْهَمٍ وصُحْبَةِ أُسْتاذٍ وطُوْلِ زَمانٍ
“Kamu tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam hal: kecerdasan, rakus (ilmu), sungguh-sungguh, dirham (biaya), bergaul dengan ustadz dan butuh waktu lama.”
0 Comments