Rajin Menulis Sejak Kecil
Ini adalah kisah Ibnu Jarir Ath-Thabari.
Siapa yang punya hobi menulis? Bercita-cita menjadi penulis? Bangga ya ketika nama kita tercantum dalam sebuah buku. Satu saja seneng rasanya. Apalagi jika berada di mana-mana. Dibaca banyak orang. Menjadi jalan ketaatan banyak orang. Banyak juga tuh pahalanya…
Menulis adalah salah satu tradisi ulama. Termasuk ulama yang bernama asli Muhammad bin Jarir. Lebih sering dipanggil Ibnu Jarir Ath-Thabari. Lahir tahun 224 H.
Sejak masih kecil, sang ayah selalu mendorong ia untuk menuntut ilmu. Wajar, ayahnya juga sangat cinta terhadap ilmu. Berkat dorongan sang ayah, Ibnu Jarir mampu menghafal Alqur’an ketika berumur 7 tahun. Ia juga mulai aktif berjamaah di masjid secara rutin sejak umur 8 tahun. Artinya, ia sudah paham tata tertib di masjid, sudah tahu kapan waktu-waktu ke masjid, tanpa dikejar-kejar oleh sang ayah.
Selain menghafal dan membaca, Ibnu Jarir juga rajin menulis. Saat usianya menginjak 9 tahun, ia mulai aktif menulis hadits. Baginya, tiada hari tanpa menulis. Jika seluruh karyanya dibagi dengan usianya sejak lahir hingga wafat, maka hasilnya bahwa ia telah menulis sebanyak empat buku per harinya!
Semakin dewasa, semangat belajar dan menulisnya semakin memuncak. Banyak sekali buku-buku yang beliau tulis dan hingga kini masih bisa kita baca. Karyanya yang paling terkenal adalah Tafsir Ath-Thabari.
Ath-Thabari pernah mengajak teman-temannya menulis tentang kejadian sejak Nabi Adam diciptakan hingga hari kiamat. Jumlah halaman yang diusulkan mencapai 30.000 halaman. Teman-temannya merasa kewalahan. Maka Ibnu Jarir berkata, “Semangat kalian sudah mati.” Lalu beliau meringkasnya menjadi 3000 halaman.
Ketika Ibnu Khuzaimah membaca buku tulisan Ibnu Jarir, beliau berkata, “Saya telah membaca bukunya dan saya tidak tahu lagi orang yang lebih pandai di permukaan bumi ini daripada Ibnu Jarir.”
Ibnu Jarir adalah sosok yang mewujudkan belajar sejak buaian hingga liang lahat. Sejak kecil ia sudah belajar. Hingga jelang akhir hayat, ia masih menyempatkan menulis. Saat sakit, ada seorang temannya menjenguk seraya memanjatkan doa-doa untuknya. Mendengar doa temannya, Ibnu Jarir yang sakit keras itu ingin menulisnya. Ia meminta kertas dan pena kepada keluarganya. Orang-orang pun terkejut dibuatnya. “Dalam keadaan seperti ini Anda masih ingin menulis?” kata mereka dengan penuh tanda tanya. Ia menjawab, “Ya, tidak pantas seorang muslim meremehkan ilmu walaupun dalam keadaan seperti ini.” Tak lama usai menulis, sang tamu berpamitan. Akan tetapi, sebelum tamunya keluar rumah, ia sudah meninggal.
Murid Ath-Thabari pernah menuturkan, “Muhammad bin Jarir tidak takut celaan orang yang gemar mencela demi membela Allah, meski resikonya sangat berat. Kalangan ahli agama dan ilmu mengakui keilmuan, kezuhudan, penolakannya terhadap dunia dan sikap qana’ahnya terhadap bagian yang ditinggalkan oleh bapaknya di Thabaristan.”
Sebagaimana para pengembara ilmu, Ath-Thabari pernah kehabisan bekal. Nafkah ayahnya pernah terlambat. Ia pun terpaksa memotong lengan baju dan menjualnya. Ia mengajarkan, sekalipun dalam keadaan sulit dan terbatas, seorang muslim harus menjaga kehormatan. Ia pernah berpesan:
خُلُقانِ لَا أرضى طَرِيْقَهُما بَطْرِ الْغَنِيْ ومَذَلَّةُ الْفَقْرِ
“Ada dua perilaku yang tidak aku sukai, menjadi orang kaya yang sombong atau orang miskin yang menghinakan diri.”
0 Comments