Karena Terbiasa
Belakangan ini viral sebuah video yang menunjukkan dua orang undangan di sebuah resepsi pernikahan yang berebut menu prasmanan yang disediakan. Lalu salah satu guru di Quki School, Bu Milda, teringat akan tulisannya dua tahun lalu yang mengangkat tema seputar makan di resepsi pernikahan yang dihadiri bersama anak-anaknya.
Tulisannya sarat akan hikmah dan pembelajaran. Jadi, selamat membaca dan mengambil hikmahnya ya!
__________________
Di sebuah resepsi pernikahan, Haidar bertanya. “Bunda, mau es krim. Itu mah nggak bayar da,” pintanya sambil menunjuk ke sebuah konter di mana es krim dijajakan.
Rekan di sebelah saya semringah mendengar kalimat kedua darinya. Saya mengangguk pertanda mengizinkannya.
Dia, kakaknya dan juga saudara-saudaranya pergi ke konter makanan di mana bakso dan es krim tersedia. Letak antara konter bakso dan es krim memang bersebelahan.
Kakak dan saudara-saudarannya kembali dengan membawa semangkuk bakso dan es krim, tapi Haidar hanya membawa satu cup es krim. Tak lama setelah menghabiskan es krimnya, dia kembali mendekati saya.
“Bunda, mau bakso,” ujarnya.
“Ambil aja,” jawab saya.
“Tapi Haidar udah makan es krim.”
Sambil mengernyitkan dahi saya tanya dia, “Haidar mau es krim atau bakso?”
“Mau bakso. Tapi kalau mau baso kan harus sama es krim. Haidar udah makan es krimnya tadi.”
Sesaat agak bingung juga dengan maksud pembicaraannya. Namun kemudian saya mengerti bahwa dia sedang meminta izin ingin menambah porsi.
Di sekolahnya, anak-anak diajarkan untuk mengambil jatah satu porsi snack. Bila ingin menambah, mereka harus belajar menahan diri karena khawatir ada hak orang lain yang terampas atau belum sempat mengambil. Kalau memang bersisa atau ada yang rida memberikan jatahnya, baru yang lain boleh mengambil lagi.
“Boleh ambil lagi,” lanjut saya, “asal memang habis dimakan. Tapi jangan tamak. Lihat tuh, masih banyak tamu. Masih banyak yang mau mencicipi. Masih ada orang lain yang berhak mengambil bakso.”
Karena terbiasa meminta izin, anak-anak selalu berkata dulu sebelum makan atau bermain.
Demikian juga kakaknya. Semangka dan melon adalah kesukaannya. Namun dia selalu meminta izin terlebih dahulu jika ingin mengambil buah. Dia pun mengambil sesuai porsi yang akan dihabiskannya.
Kakaknya juga menyadarkan saya bahwa di tempat tadi minus tong sampah. Karena terbiasa membuang sampah di tempatnya, setelah mengedarkan pandangan dan tidak didapatinya tong sampah, dia titipkan mangkuk sterofoam bekas makan bakso.
Ah, hal yang sederhana memang. Dan orang-orang dewasa memang perlu belajar lagi hal-hal yang sederhana. Bahkan mungkin dari anak-anak; mengambil makanan secukupnya, tidak menyisa-nyisakan makanan, dan menyimpan sampah pada tempatnya.
Entah berapa lama orang dewasa bisa memelajari hal-hal sederhana seperti itu, terutama saat berada resepsi pernikahan.
Sulung kini berusia 7 tahun. Haidar menginjak usia 5,5 tahun. Bagi orang dewasa, bisa terbiasa akan hal-hal sederhana tadi mungkin lebih lama, mungkin juga lebih sebentar. Membiasakan hal positif pada anak perlu peran atau teladan dari kedua orangtuanya. [] Milda Nurjanah
0 Comments