Kajian Tahsin Orangtua dan Bahasa Indonesia
Rabu kemarin adalah hari pertama kajian tahsin untuk orangtua siswa dimulai kembali. Seiring dengan panjangnya waktu liburan kemarin, kajian tahsin untuk orangtua siswa ini sempat terhenti lama juga. Biasanya seminggu sekali. Dan, karena kini masa sekolah sudah mulai aktif, kajian tahsin untuk orangtua siswa mulai diadakan lagi.
Sebetulnya kajian tahsin ini tidak eksklusif untuk orangtua siswa saja sih. Terbuka untuk umum juga. Jadi, siapapun bisa mengikuti kajian tahsin ini. Misalnya ada orangtua siswa yang mengajak tetangganya. Silakan saja. With no charge lho.
Kajian tahsin ini diisi oleh Bu Milda. Berhubung saat ini siswa bertambah banyak dan, untuk mengisi kajian tahsin ini Bu Milda bentrok dengan jadwal mengajar, akhirnya saya didaulat untuk turun mengajar kembali.
Lho, memangnya saya pernah mengajar?
Pernah. Dulu waktu kami mulai merintis sekolah ini saya pernah mengajar Bahasa Indonesia. Namun karena suatu hal saya berhalangan untuk bisa aktif mengajar di tahun-tahun selanjutnya. Lalu saya menjadi pengangguran garis keras karena pekerjaan project based sebagai freelancer waktu itu membuat saya banyak menghabiskan waktu di kamar sementara keluarga besar seperti terus-terusan memicingkan matanya melihat keseharian saya. *Curcol tak terkendali 😀
Jadilah hari Rabu kemarin itu sebagai hari pertama saya kembali ke dunia ajar-mengajar. Saya diamanahi mengisi kelas 4 dan 5.
Pada kesempatan pertama mengajar di kelas yang sebetulnya sudah kesekian ribu kali itu[1] saya memberikan asesmen untuk para siswa kelas atas ini untuk melihat sejauh mana mereka bisa berbahasa secara baik dengan memberikan pelajaran dasar menulis kalimat.
Sebetulnya itu agak melenceng dari materi buku paket yang, menurut saya, mereka belum bisa sampai tahap sana dulu. Justru saya melakukan asesmen ini untuk memastikan kesiapan mereka yang, ternyata ya memang harus lebih dibentuk terlebih dulu lagi.
Pelajaran membuat kalimat dengan makna utuh kemarin itu banyak kejadian yang bisa membuat perut saya carangkeul karena tertawa terus. Bagaimana tidak, mereka yang ditugasi membuat sebuah kalimat dengan struktur lengkap dan acak memberikan contoh-contoh kalimat di luar kebiasaan.
Misalnya, memberikan contoh kalimat sederhana dengan struktur SPO saja ada yang menuliskan “Monyet mencuri HP.”
Saya tidak menyalahkannya. Malah saya senang mereka bisa berpikir di luar kebiasaan kami para gurunya yang dulu mungkin berkutat dengan kalimat-kalimat dogmatis sebunyi, “Ibu pergi ke pasar”, “Ayah sedang membetulkan motor di garasi”, atau “Budi sedang belajar kelompok di rumah Andi”.
Tapi mbok ya kalau bikin kalimat itu harus berdasarkan sesuatu yang benar lah. Masa ada siswa yang memberikan contoh kalimat seaneh, “Ayam memakai jam tangan Imoo[2]”?
Saya tidak marah sih. Saya cuma memberi tahu mereka kalau memang mau membuat kalimat seaneh itu, tinggal sesuaikan dengan kenyataan saja. Mana mungkin ada ayam yang bisa memakai jam tangan. Ada juga ayam yang dipakaikan jam tangan. Jadi saya memberikan mereka sebuah kebenaran yang tak terbantahkan –halah– dengan kalimat yang seharusnya: “Ayam dipakaikan jam tangan Imoo oleh Budi.”
Tahu bedanya kan?
Kalimat itu tetap aneh dan, never mind, bisa diterima karena masih sesuai dengan kenyataan 😀 [] Emte
[1] Berdasarkan perhitungan saya menjadi seorang guru sejak lulus kuliah tahun 2010 :p
[2] Imoo adalah merek dagang dari sebuah smartwatch khusus untuk anak-anak yang sedang hype. Kalau Anda tidak tahu karena belum pernah melihat iklannya berseliweran, pasti di rumah Anda tidak ada TV. Bersyukurlah, karena dengan begitu putra-putri Anda tidak akan merengek untuk dibelikan jam tangan yang memiliki fungsi video call itu. Tapi harus waspada juga karena mereka bisa saja tergoda oleh teman-teman di sekolahnya yang memakai jam itu –yah, meskipun yang KW. Hehe.
0 Comments