Jika Kau Benar, Melawanlah!
Oleh: Milda Nurjanah
Segaris luka dekat dengan pelipis matanya membuat seorang ibu menemui saya untuk bertanya hal ihwal kejadian yang sebenarnya.
Sudah diduga. Orangtua manapun akan melakukan hal yang sama. Datang ke sekolah atau minimal bertanya pada gurunya. Sebelum ibu tersebut bertanya, saya mencari tahu terlebih dahulu fakta kronologi kejadian pada wali murid dan beberapa orang yang melihat kejadian tersebut.
Dijelaskanlah pada ibu tersebut bahwa luka itu tergores akibat anaknya berebut posisi menjadi imam dengan anak yang lain. Di sekolah kami menjadi imam adalah bagian dari apresiasi. Menjadi imam artinya juga dipercaya menjadi pemimpin. Menjadi imam juga merupakan cara kami melatih konsentrasi anak selain agar ia tidak mengganggu temannya bila saat menjadi makmum.
Sebut saja Raja, seorang anak yang super lincah. Hidup berbeda jauh rentang usia dengan kakaknya. Tinggal di komplek dan tidak ada teman sebaya. Apapun yang diinginkan mudah didapatkan, bisa leluasa bertindak apapun yang dikehendakinya tanpa takut ada yang mengusik ataupun merebut. Wajar bila kemudian membuatnya belum mengenal konsep berbagi, bergilir ataupun berempati. Kebiasaannya yang tiba-tiba mengambil barang yang sedang dipegang teman, ingin selalu didahulukan, berbalik marah bahkan tidak jarang menggunakan fisik saat ditegur membuat kesal teman-temannya.
Begitu juga hari itu, teman-temannya bersepakat tidak mau menemaninya. Raja tidak mau mengalah. Bila teman-teman sekelas tidak mau menemaninya, ia bisa mencari teman lain di kelas sebelah.
Saat itu waktunya salat. Selesai berwudu, Raja langsung masuk ke kelas sebelah memaksa mundur temannya yang saat itu telah berdiri di posisi imam.
Sebut saja Yusuf, seorang anak penurut yang jarang membuat masalah. Saat dipaksa mundur oleh Raja, Yusuf tidak menerima. Guru sudah coba melerai. Memberi pengertian pada Raja dan memintanya kembali ke kelas asal bila enggan menjadi makmum di kelas itu. Raja tidak mau tahu. Gesekan fisik pun terjadi. Jadilah segaris luka tergores di dekat pelipis matanya.
Ibu Yusuf tidak menerima penjelasan yang saya utarakan. Ia tidak percaya anaknya bisa berbuat demikian. Yusuf memang anak tunggal. Karena anak satu-satunya itulah, ibunya cenderung over protected. Ibunya jarang memberikan izin padanya untuk bermain dengan teman sebaya di sekitar rumah. Bahkan karena teramat khawatir, bila tidak dengan ayahnya, Yusuf tidak diizinkan belajar salat di masjid meski jaraknya kurang dari 10 langkah. Ia hanya bermain di rumah ditemani ibunya. Kalaupun bermain dengan teman sebaya, hanya dengan saudaranya sendiri dan dalam pantauan ibunya.
Ibu Yusuf mengajarkan Yusuf untuk tidak boleh bertengkar dengan siapapun. Jika berebut mainan atau makanan, lebih baik mengalah. Berikan saja. Ibu Yusuf lupa bahwa semua anak terlahir memiliki gharizah baqa atau naluri untuk mempertahankan diri. Saat itu guru tidak meminta Yusuf untuk mengalah karena posisi menjadi imam saat itu memang haknya. Ia sudah bersikap manis menaati seluruh perintah guru di hari itu. Maka ia diangkat menjadi imam sebagai tanda penghormatan. Bila Yusuf tidak mau menyerahkan posisinya menjadi imam pada Raja, itu wajar. Tentu ia tidak mau haknya direbut begitu saja oleh orang lain. Yusuf sedang mempertahankan harga dirinya. Yusuf sedang mempertahankan penghormatan yang pantas ia dapatkan.
Islam mengajarkan manusia untuk jangan mau memiliki musuh. Islam mengajarkan manusia untuk mudah memaafkan. Di sisi lain, Islam juga mengajarkan untuk berani melawan bila berdiri di posisi yang benar. Pengibaratan yang masyhur bagi nasihat seperti ini adalah seperti lebah. Lebah tidak pernah mau mengganggu siapapun. Namun bila ada yang mengusik sarangnya, lebah akan memburunya guna memberikan pelajaran pada si pengusik.
Demikian yang diajarkan di sekolah. Jangan mengganggu teman. Jangan bertengkar dengan teman. Namun bila ada teman yang usil atau berbuat salah, jangan pula didiamkan. Tegur secara langsung. Bila ia masih ngeyel bisa melaporkan pada guru. Bila ia mengulangi kesalahannya bahkan menggunakan fisik, maka balaslah dengan yang serupa dilakukannya. Dipukul balas memukul. Ditendang balas menendang. Memukul tangan sebelah kanan balas di bagian yang sama. Islam mengajarkan hukum qishas. Seperangkat aturan dalam Islam tentunya tidak dimaksudkan untuk menyakiti, melainkan memberi pelajaran dan agar manusia senantiasa melangkah di jalan yang lurus. Memerlukan keberanian untuk melaksanakan semua itu. Keberanian itu perlu dipupuk sedari dini. Betul Islam mengajarkan berkasih sayang. Namun bila ada yang berbuat salah sedang kau yakin benar, maka lawanlah!
Memiliki keberanian tampak seperti hal yang sepele. Namun bila tidak dipupuk tidak akan muncul. Mungkin mulai banyak ibu atau orang dewasa di sekitarnya yang lebih mendidik anak-anaknya agar ‘jangan mau ribut’. Mengalah saja. Mendidik untuk defensif apologetik.
Padahal mendidik anak melawan bukan menyakiti. Mendidik anak melawan adalah salah satu cara untuk mempertahankan harga diri.
0 Comments