Jalan yang Tak Searah
#PesanDariSekolah No. 2
بسم الله الرحمن الرحيم
Ada sebuah anekdot tentang pendidikan yang bisa kita ambil pelajarannya.
Alkisah di sebuah keluarga, hiduplah seorang anak laki-laki kecil usia sekolah dengan kedua orangtua dan juga kakek serta neneknya.
Masing-masing dari mereka; ayahnya, ibunya, kakeknya, dan neneknya mempunyai harapan masing-masing terhadap anak dan cucunya tersebut.
Sang ayah ingin anaknya menjadi seorang tentara. Karena itu setiap kali mempunyai kesempatan berinteraksi dengan anaknya, sang ayah mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan dunia militer dan mendidiknya dengan metode yang menurutnya sesuai dengan tujuannya. Ia berharap kelak anaknya sudah memiliki kesiapan menerima pendidikan militer formal dengan memasukkannya ke akademi militer.
Di sisi lain, ibunya berharap anak semata wayangnya tersebut menjadi seorang pianis terkenal yang bisa hidup dari bermain musik. Ini sesuai dengan harapan ibunya yang ingin meneruskan ambisinya dalam musik yang harus diteruskan oleh keturunannya.
Sementara kakeknya, yang sebelumnya memiliki sebuah usaha sehingga bisa menghidupi keluarga dengan bebas finansial dan tak terikat pihak lain, memandang hanya cucunya yang bisa meneruskan usaha yang sudah dirintisnya tersebut, ketika anaknya justru memilih jalan lain untuk bisa bertahan hidup. Karena itu, setiap kali cucunya ditinggal kerja oleh kedua orangtuanya, ia mengajarkan ilmu-ilmu bisnis kepada cucu satu-satunya tersebut.
Pun berlainan dengan suaminya, sang nenek punya harapan lain lagi terhadap cucunya. Ia ingin cucunya menjalani hidup dengan terjamin penuh secara finansial. Karena itu ia berharap cucunya menjadi seorang bankir saja dan mencekokinya dengan pemikiran bahwa hidup harus selalu terjamin.
Dari kesemua harapan yang berbeda-beda itu, masing-masing selalu memanjatkan doa. Tuhan yang mendengarkan doa-doa tersebut kebingungan untuk mengabulkan yang mana hingga anak itu pada akhirnya tak menjadi siapa pun.
/
Mendapati hasil survei orangtua murid terkait pandemi dan harapan akan model KBM yang ingin dijalankan, membuat saya semakin mengerti. Bahwa memang beginilah kondisi masyarakat kita. Sangat plural. Bukan saja watak, tapi juga pemikiran.
Tidak, saya sama sekali tidak menyalahkan pandangan yang beragam dari Anda semua sebagai orangtua murid. Bahkan saya menerima dan menganggapnya biasa-biasa saja, sebagaimana saya secara pribadi pun mempunyai pandangan sendiri terhadap pandemi ini dan model KBM yang ingin dijalankan.
Tapi setidaknya ini membuktikan bahwa di antara kita, antara sekolah dan rumah, belumlah cukup sepemahaman. Kami sering khawatir kalau ini berlarut-larut akan sangat memengaruhi bagaimana anak-anak kita akan tumbuh dan berkembang.
Karena itu, untuk memperbaiki ini semua, kita berkewajiban untuk sama-sama menyamakan visi terlebih dahulu semampu kita.
Kenapa dikatakan semampu kita?
Bisa jadi penyampaian dari kami tidak begitu dimengerti, kurang mengena, atau disalahpahami, sehingga penerimaan Bapak/Ibu pun tidak utuh dan menimbulkan kesalahpahaman yang tak seharusnya ada.
Jika sudah begitu, komunikasi di antara kita harus selalu terjalin secara intens.
Karena itu, kami mengharapkan terbentuknya semacam badan musyawarah sebagai wadah aspirasi sekaligus kanal komunikasi antara sekolah dan rumah.
Di sana, kita bisa membicarakan hal-hal yang mendasar lagi. Termasuk masalah visi ini. Agar tidak berlarut-larut dibiarkan begitu saja.
Jika masalah visi (core) selesai, metode (baku) disepakati, maka setiap cara (teknis) memberikan pendidikan kepada anak-anak kita bisa didiskusikan tanpa menimbulkan perdebatan yang tak perlu. Karena cara (teknis) yang ditempuh tidak akan begitu memengaruhi visi (core) yang hendak dicapai.[]
Cianjur, 6 Agustus 2021
Salam,
Agus Munawar Tamim
0 Comments