Menularkan Harapan, Menularkan Kekuatan
Melatih kematangan emosi pada anak-anak bisa dengan cara berbagi rasa bersama mereka.
Seringnya, dinamika kehidupan mengobrak-abrik perasaan. Terkadang orangtua bisa mengendalikan diri dan tetap berusaha stabil di depan mereka. Namun tidak jarang pikiran orangtua menganggap akal anak-anak belum cukup mengerti untuk sekadar diajak berbagi.
Underestimate terhadap anak-anak ini membuat orangtua urung terbuka kepada mereka. Dialog menjadi tersumbat. Kekakuan bisa terus berlangsung bahkan hingga mereka beranjak dewasa.
Akibatnya, orangtua sulit membaca apa yang ada di dalam pikiran anak. Pun susah untuk sekadar menularkan harapannya kepada anak.
Menceritakan apa yang sedang dirasa orangtua kepada anak, tidaklah menandakan kelemahan kita sebagai orangtua. Tidak juga membuat wibawa kita menjadi turun di hadapan mereka. Sebaliknya, menceritakan apa yang kita rasa kepada mereka akan menambah rasa percaya diri anak. Karena dengan begitu dia merasa sudah dipercaya oleh orangtuanya sendiri untuk menjadi tempat seluruh rasa tercurah. Bercerita kepada anak mungkin tidak akan sampai mendapatkan solusi. Namun, hal tersebut bisa melatih empati mereka.
***
“Muqri’, Haidar. Bunda sedang sedih nih,” ujar saya selepas membersihkan diri; menyegarkan diri dari penat seharian tadi.
“Sedih kenapa?” tanya Haidar yang lebih tanggap.
“Kalian mau tahu kenapa Bunda sedih?”
“Mau!” jawab keduanya.
“Nanti Bunda ceritakan. Sebelumnya, Bunda minta kalian tadarus dulu. Sedih ini akan terobati dengan bacaan Alquran. Tapi sekarang Bunda sedang haid. Jadi, tolong bacakan Alquran untuk Bunda ya,” pinta saya.
Mulailah keduanya meraih Alquran dan membuka halaman terakhir yang telah dibaca sebelumnya.
Sebagaimana biasa, yang mengawali adalah Muqri’. Dia berusaha membaca Alquran dengan sebaik mungkin; suara yang tidak bergumam. Setelah selesai satu halaman, dia bertanya apakah tadarus kali ini harus dua halaman. Saya mengangguk.
Pada ayat-ayat yang dia baca, dia bertanya tentang sebuah ayat yang tampak diulang-ulang. Mengapa begitu? Apa maksudnya?
Walmuslimuuna walmuslimaati walmu’minuuna wal mu’minaati wal qaanituuna wal qaanitaati…
Saya mencoba menerangkan dari segi bahasanya, sejauh yang dimengerti.
Setelah itu, Haidar melanjutkan tadarus. Satu halaman.
Tiga halaman yang mereka baca cukup menjadi penawar kesedihan ini. Terutama ayat yang Muqri’ tanyakan. Menerangkan kepada mereka tapi sesungguhnya menjadi pengingat diri sendiri juga. Allah Ta’ala pasti memiliki maksud dari semua ini.
Syahdan, Haidar menagih janji saya untuk bercerita.
Kisah yang saya berikan untuk mereka dimulai dengan kabar duka dari teman sepengajian. Dia masih muda, tapi sudah memiliki anak yang cukup besar dan duduk di bangku SMA. Sementara anaknya yang masih kecil, mungkin setara dengan Aafiya, adik mereka yang baru berumur 2,5 tahun. Aafiya yang sedari tadi sibuk sendiri pun langsung memusatkan perhatian pada pembicaraan kami. Dia tampak sumringah karena namanya disebut.
Saya beritahukan kepada mereka bahwa kabar duka tentang teman-teman yang saya terima begitu berdekatan. Dimulai dari wafatnya teman SMP, SMA, hingga teman kuliah. Usia mereka masih muda. Usia teman yang baru meninggal itu pun masih muda, sekitar 40 tahunan.
Gerimis yang turun di luar sana seolah menjadi backsound cerita memilukan ini. Aafiya yang masih sibuk sendiri sambil berselawat dengan suara meriah dan cadel, memecah kesyahduan suasana, tapi tidak dengan konsentrasi kedua kakaknya. Terutama Haidar. Dia merangsek; mendekati pundak saya.
“Kabar-kabar teman yang meninggal dunia itu selalu membuat Bunda berpikir, seandainya mengalami peristiwa yang sama,” lanjut saya mencoba tidak terganggu juga dengan selawat Aafiya yang ternyata sudah berganti judul.
“Andai Bunda meninggal di usia 40 tahun, berarti sekitar 6-7 tahun lagi…”
Si gadis kecil mulai menoleh. Dia mulai menyadari arah pembicaraan ini ke mana. Dia hentikan selawatnya dan berganti dengan duduk menghadap saya. Serius.
“Berarti, usia Muqri’ nanti sudah berapa tahun?” tanya si sulung.
“Usia Muqri’ sekitar 16-17. Kelas 1-2 SMA. Haidar 15,5 tahun. Sekitar kelas 3 SMP. Aafiya usia 10 tahun, seperti Muqri’ sekarang. Kelas 3 SD.”
Ada sesungging senyum pada bibir mereka. Mungkin membayangkan sosok-sosok mereka yang sudah mendewasa.
“Tapi ada kekhawatiran pada hati Bunda. Kalau nanti Bunda meninggal, masihkah kalian pada susah disuruh salat? Sempat tidak, Bunda mendengarkan Muqri’, Haidar, dan Aafiya mengkhatamkan hafalan Alquran?”
Mereka hening. Termasuk si gadis kecil.
“Bunda selalu membayangkan, suatu hari nanti Bunda mendapat telepon dari guru-guru kalian. Diminta datang esok harinya untuk mendengarkan sesi tasmi’ hafalan kalian. Besoknya, kalian berpakaian rapi. Menghadap kepada para kiai, atau syekh. Di sekitar Bunda ada murid-murid yang lain, juga orangtua-orangtua lain yang ikut mendengarkan. Bunda dan Ayah di belakang kalian ikut mendengarkan. Pada ayat-ayat terakhir, syekh dan kiai mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanda memuji bagusnya hafalan kalian. Bunda tidak akan sanggup menahan tangis. Bunda akan sujud syukur.”
Haidar menyandarkan kepalanya ke pundak saya. Aafiya mendekat ke dada. Sementara Muqri’ terdiam. Komik Alfatih yang baru diterimanya tertelungkup di atas kedua pahanya.
“Bunda ingin kalian hafal Alquran sebelum usia balig,” lirih saya.
“Muqri’ sudah selesai membaca komik Alfatih seri Vlad jilid 1&2?” tanya saya kemudian. Setelah menceritakan apa yang membuat saya menjadi sedih, selepas magrib tadi, saya meminta anak-anak untuk menceritakan ulang bacaannya. Kini, saya yang menagih janji. Memberikan buku, meminta menceritakan ulang bacaannya untuk memeriksa apakah mereka memahami apa yang dibaca. Lebih dari itu, juga memeriksa sejauh mana kematangan berpikirnya.
Haidar bisa mengurai dengan bahasanya sendiri tapi belum runut. Sedangkan Muqri’, dia masih belum bisa percaya diri untuk mengungkapkan isi cerita dengan bahasanya sendiri, meski secara runutan dia bisa lebih komprehensif.
Kali ini Muqri’ memilih membacakan ulang komik dengan gaya story telling. Kedua adiknya turut menyimak.
Azan Isya berkumandang, menghentikan dialog malam ini. Seperti biasa, selepas Isya, Haidar dan Aafiya tidak akan bertahan lama untuk sekadar terjaga. Sedangkan Muqri’, akan menyertai ke manapun saya singgah hingga menamatkan bacaannya. [] Milda Nurjanah
0 Comments