Ketika Saya Gemas dengan Psikologi
Kita sudah melewati tahap di mana aspek psikologis merupakan mekanisme fisiologis alami dari penciptaan manusia. Ya, sesederhana itu. Setiap manusia yang Allah ciptakan tentu butuh penyelesaian masalah kehidupan berkaitan dengan dirinya tanpa memandang perbedaan ras, agama, ataupun peradaban.
Kemudian beranjak kita melewati tahap di mana konstelasi politik dunia mesti dikuasai satu adidaya yang tentu satu adidaya itu membawa pengaruh dominan dari kekhasan peradabannya. Sehingga itu pun yang terjadi dengan corak aspek psikologis. Akan berubah sesuai siapa yang sedang berkuasa. Dari aspek psikologis alamiah manusia kemudian berkembang menjadi ilmu psikologi bahkan menjadi tsaqafah (ilmu/pengetahuan yang khas, ed.) psikologi yang luas sebagai sebuah sistem yang tidak bisa dilepaskan dari ciri khas ideologi penggagasnya.
Jika Islam, maka aspek psikologis akan padu dalam ilmu dan tsaqafah syakhsiyah Islamiyyah (ilmu/pengetahuan tentang kepribadian menurut Islam) yang tak bisa lepas dari akidah Islam sebagai asas berpikirnya.
Jika Kapitalis Sekuler, maka aspek psikologis akan kentara dengan ilmu dan tsaqafah psikologi yang sesuai dengan akidah pemisahan agama dari kehidupan.
Jika Sosialis Komunis, maka aspek psikologis akan memiliki ciri khas materialistik.
Ketiga ideologi itu bergulir satu sama lain mendominasi dunia. Seperti itu pula solusi untuk permasalahan manusia berkaitan dengan aspek psikologis mengikuti tren payung dominasi negara pengusungnya.
Kemudian sampailah kita pada tahap aspek psikologis di era saat ini ketika Kapitalisme Sekuler yang berkuasa. Sehingga, ilmu psikologi tak lagi selugu aspek psikologis. Ia sudah menjadi tsaqafah dan sistem yang mengemban misi peradaban “agama yang dipisah dari kehidupan”. Di sinilah kita dituntut untuk menjernihkan fakta guna memilah ilmu, tsaqafah, fikrah (pemikiran), thariqah (metode), khithah (tujuan), uslub (teknis/cara), dan wasilah dari topik psikologi yang berkembang saat ini.
Tidak perlu alergi untuk mengakui bahwa proses berpikir manusia itu berkembang, baik dia sebagai muslim ataupun nonmuslim. Kulit merah, hitam, ataupun putih. Kita manusia, aspek psikologis terjadi di setiap dari kita. Ilmu psikologi pun berkembang, selalu terbarukan, dan selalu butuh basic value untuk mengukur berbagai pendekatannya. Artinya sebagai ilmu, psikologi hanya bisa meneliti, mengkaji, analisis, sementara ia tak bisa menjustifikasi atau menentukan nilai ketika basic value belum disematkan. Sebab psikologi dari Barat lebih terkenal dibanding syakhsiyah Islamiyyah dalam mengeksplorasi aspek psikologis manusia, sehingga selama ini kita selalu mengemas ilmu psikologi itu sepaket dengan stereotip Barat dan ideologinya. Sulit bagi kita menerima bahwa ilmu psikologi berangkat dari kealamiahan aspek psikologis yang dialami setiap manusia yang bernyawa.
Kemudian kita sampai pada tahap bahwa ilmu psikologi bertentangan dengan Islam. Kondisi ini seolah dihadirkan tanpa memberikan kejernihan antara aspek psikologis dan ilmu psikologi yang sudah tren dengan ideologi sekuler yang digagas Barat. Semua campur aduk dan tumpang tindih, tapi tetap disajikan ke tengah masyarakat dengan topik “Psikologi Bertentangan dengan Islam”.
Kemudian kita sampai pada tahap di mana meskipun psikologi bertentangan dengan Islam, tapi masyarakat masih mendudukkan psikologi lebih istimewa dari syakhsiyah Islamiyyah. Ilmu psikologi dicitrakan mampu terbarukan dalam menemukan teknik-teknik untuk mengukur rasio perilaku manusia, melakukan beragam terapeutik yang kreatif dan terukur, dan hal-hal lain yang sangat menggugah jiwa.
Kemudian kita sampai pada tahap ketika psikologi yang belum jernih hakikatnya itu disahabatkan dengan Islam. Muncullah tokoh-tokoh Islam dengan konsep psikologi Islam sehingga menjamur berbagai self-help yang diklaim islami. Semakin sulit kita mengurai mana fikrah, thariqah, khithah, ilmu, tsaqafah, uslub, wasilah, bahkan qadla qadar sebab ilmu tentang manusia ini sungguh elastis dan universal sebelum ada ideologi yang mengukurnya.
Sisi lain tahap ini adalah ketika psikologi diindustrialisasi sebagai lahan bisnis. Sungguh menggelitik. Awalnya ia hadir sebagai respons atas gejala aspek psikologis alamiah manusia sehingga berkembang menjadi ilmu, terapeutik, dan teknik penyelesaian masalah, tetapi kemudian kultur popularitas melibas esensi menjadi pelabelan, baik islamisasi maupun psikologi sebagai komoditas.
Akhirnya… Silakan menjadi cerdas. Ketika manusia tercipta dengan qadla qadar-nya sebagai manusia, aspek psikologis dan permasalahannya itu tidak pernah bisa kita hindari. Itu adalah fakta konsekuensi kita sebagai manusia.
Setiap manusia dengan ideologi apa pun yang dia emban, selalu butuh penyelesaian atas aspek psikologis yang terjadi di dalam dirinya. Itu yang dilakukan fase kekuasaan Islam, Kapitalisme, dan Sosialisme Komunis.
Ambillah satu basic value yang hakiki untuk menyelesaikan masalah aspek psikologismu.
Wallahu’alam.
0 Comments