Ekspektasi
Acap kali orangtua yang sederhana, berasal dari kampung dan hanya tamat sekolah dasar, bisa mengantarkan putra-putrinya menjadi sosok yang melebihi mereka.
Sang ayah yang berprofesi sebagai seorang petani, tukang becak atau bahkan buruh kasar bisa mengantarkan anaknya lulus perguruan tinggi, hafizh Alquran, mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi, hingga berhasil membuat sebuah karya yang membanggakan.
Tak jarang seorang ibu yang hanya sekadar ibu rumah tangga biasa, penjahit kampung, hanya pernah mengecap bangku pesantren dasar, bisa mengantarkan anak-anaknya menjadi hafizh/ah, insinyur hebat, dokter cekatan dan teramat menghormati dirinya.
Bisa jadi, karena demikian sederhananya hidup yang dijalani mereka tidak bisa menghadiri seminar-seminar parenting berbayar.
Bisa jadi, mereka tidak bisa membeli buku suplemen ilmu keorangtuaan.
Bisa jadi, keterbatasan ruang dan waktu membuat mereka tidak bisa mengenyam banyak ilmu.
Namun, kesederhanaan itu rupanya membuat mereka dibimbing oleh Allah SWT hingga bisa mengamalkan seluruh muara ilmu keorangtuaan: sabar, ikhlas dan tawakal.
Kesederhanaan bisa membimbing mereka untuk berlaku sabar menghadapi anak-anak. Bagaimanapun nakalnya anak-anak, mereka bisa bersabar karena berbesar hati menerima bahwa diri mereka sendiri pun memiliki banyak kekurangan.
Kesederhanaan yang mereka miliki tidak membebani mereka. Tidak terpenjara dengan pencitraan. Tak pernah ambil pusing dengan penilaian orang.
Mereka ikhlas mendidik anak semata-mata karena Allah SWT. Mereka menyadari bahwa mendidik anak adalah bagian dari ibadah tidak ubahnya seperti salat.
Tidak terbebani harus menyekolahkan mereka hingga menjadi seorang dokter karena orangtua pun adalah dokter. Tidak terbebani harus membuat mereka pandai berpidato dan hafal Alquran karena orangtua sebagai ustaz atau kyai. Tidak terbebani anak harus begini dan begitu karena orangtua juga sebagai ini dan itu. Kalau tidak berhasil membuat mereka sesuai ambisi, tidak sesuai ekspektasi, enggan disebut tidak becus mendidik anak.
Tak secuil pun beban pikiran itu menggelayuti para orangtua sederhana ini. Mereka hanya berusaha memberikan yang terbaik sesuai yang dimampui, menjadi teladan dan sabar membersamai proses.
Selanjutnya, mereka mau menjadi apa serahkan saja pada skenario Allah.
Keikhlasan inilah yang bisa menembus relung hati anak-anaknya. Anak-anak jadi bisa berempati atas kesusahan orangtuanya. Anak-anak menjadi tangguh dan penuh motivasi untuk membuat bangga dan membahagiakan orangtuanya.
Kalaupun anak-anak pernah nakal, kesabaran dan keikhlasan para orangtua sederhana ini terekam dalam memori hingga tak lama kemudian mereka sadar dan kembali lagi pada rel aturan agama. Mereka tidak mau membuat orangtuanya bersedih.
Ini yang sering terlewatkan oleh para orangtua hari ini. Semangat menambah ilmu pengasuhan dan keorangtuaan, tapi jarang memurnikan keikhlasan.
“Selayaknya saya bisa menjadikan anak-anak lebih hebat,
karena saya lulusan S1,
karena saya rajin mengikuti seminar parenting,
karena saya lebih tartil mengaji daripada ibu dahulu,
karena saya sudah memfasilitasi belajar anak dengan berbagai buku dan mainan edukatif.”
“Karena saya adalah bla bla bla,”
“Karena saya sudah bla bla bla,”
“Malu kalau tidak sesuai ekspektasi. Apa kata orang nanti?” [] Milda Nurjanah
0 Comments